Ketika kita kembali membuka catatan sejarah perjalanan perjuangan bangsa Indonesia, mulai dari jaman perebutan kekuasaan hingga hari ini tentang model pendidikan di negeri. Maka banyak dokumen akan ditemukan yang mencerikan tentang kemajuan pendidikan bangsa. Kalau dilihat dari masa pra kemerdekaan, lembaga pendidikan masih semi formal. Bentuknya adalah ashram, padepokan atau pesatren. Hingga lembaga pendidikan formal didirikan oleh Kolonial Belanda yang dipinpin oleh Van De Venter. Sekolah sudah merupakan pendidikan formal sejak awal didirikannya.
Perkembangan zaman berdasarkan data-data sejarah memang menggambarkan kemajuan pendidikan bangsa ini. Persoalan yang kemudian muncul adalah bagaimana indikator kemajuan bangsa?. Justru jika kita mencermati lebih jauh tentang kemajuan pendidikan bangsa ini, maka ditemukan bahwa sejak berdirinya sekolah membuat pendidikan bangsa semakin mengalami penurunan. Berikut ini adalah opini tentang kemunduran pendidikan di Indonesia antara lain:
Sekolah tidak bisa dinikmati secara menyeluruh oleh masyarak di Indonesia. Hanya keluarga yang mampu secara finansial yang bisa menentukan dimana mereka memilih sekolah yang layak bagi putra-putri mereka. Sementara bagi keluarga yang memiliki keterbatasan ekonomi harus bersabar dan rela memilih sekolah yang kualitas pengajarnya serta sarana dan prasarannya paling standar. Tentunya opini ini sudah bertentangan dengan tujuan pendidikan yang tertuang dalam Undang-undang dasar 1945
Fokus sekolah adalah pengembangan wawasan, pengetahuan dan penalaran. Itulah yang menjadi prioritas utama yang dibangun sekolah secara umum dinegeri ini. Sementara itu, pendidikan meliputi pengembangan wawasan, intelektual, perbaikan mental serta melatih peserta didik untuk terus beramal sholeh. Dalam hal ini sekolah telah gagal mewujudkan cita-cita bangsa karena justru pada lembaga ini tidak diutamakan pembinaan mental seperti kejujuran, antri, disiplin, ketangkasan, keberanian dan sebagainya. Mana ada sekolah yang membina siswanya untuk jujur dan melakukan antri? Tentunya mental siswa terus mengalami pergeseran sehingga wajar kalau bangsa ini terbiasa dengan korupsi karena masyarakatnya tidak terdidik untuk jujur.
Tujuan bersekolah semakin tidak jelas. Guru yang sejatinya menjadi pendidik justru sangat tergantung oleh keinginan mendapatkan imbalan gaji. Bahkan ada yang acuh tak acuh mendidik meski telah mendapatkan gaji yang lebih tinggi. Siswa sebagai peserta didik juga menganggap bahwa nilai merupakan ukuran keberhasilan siswa, sementara proses pendidikan tidak begitu penting bagi mereka. Hal ini centederung mengubah mental siswa bahwa yang terbaik hanyalah nilai akhir sehingga tidak penting untuk setia pada proses pendidikan. Hal ini pula yang dilakukan oleh lembaga pendidikan, yaitu mengejar target kelulusan, memperbanyak sarana dan prasarana, memperbaiki fasilitas dan lain-lain untuk mendapatkan nilai yang terbaik bagi pemerintah dan masyarakat sehingga sekolah tersebut bisa jual mahal.
Opini di atas tentu sangat bertentangan dengan data sejarah tentang kemajuan pendidikan bangsa. Olehnya itu atas nama pribadi dan kelembagaan di The Phinisi Center yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial kemasyarakatan memberikan ide bahwa pendidikan sejatinya mengutamakan pembinaan mental dan menanamkan jiwa yang selalu beramal sholeh. Kami menyadari bahwa pengetahuan memang sangat penting dalam meningkatkan kemajuan bangsa tapi perlu disadari bahwa pengetahuan tanpa kejujuran, ketulusan, keterbukaan, kedisiplinan dan aspek mental positif lainnya maka tetap akan melahirkan kebobrokan. Dengan demikian kami berkesimpulan bahwa mental dan amal sholeh sejatinya diutamakan dalam pendidikan di sekolah.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah menitipkan komentar
semoga informasi ini bermanfaat
Wassalam