Minggu, 24 Maret 2013
0 komentar

Proposal Penelitian Skripsi


Formasi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Mendorong Akuntabilitas Pelayanan Publik
(Studi Kasus LSM Pattiro Jeka di Kab. Jeneponto)
(Proposal Penelitian)
oleh
Muhammad Kahar
I.        PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang Masalah
Salah satu sektor penting dalam peningkatan kapasitas, kualitas serta kuantitas pemerintahan daerah adalah terbentuknya suatu sistem organisasi pemerintahan yang memiliki akuntabilitas pelayanan yang baik. Praktik akuntabilitas tersebut harus menjadi prioritas utama dalam membangun. Sebagai contoh adalah, sistem pemerintahan memiliki akuntabilitas terkait pelayanan publik yang baik.
Peningkatan kualitas pelayanan publik merupakan salah satu agenda reformasi birokrasi, yang bertitik tolak dari kenyataan buruk kondisi factual kualitas pelayanan publik yang sebagian besar ditentukan oleh kualitas sikap dan karakter aparatur pemerintah yang tidak terpuji, korup, dan tidak bertanggung jawab (Surjadi, 2009:1).
Dalam penyelenggaraan pelayanan publik, orientasi pada kekuasaan yang amat kuat selama ini telah membuat birokrasi menjadi semakin jauh dari misinya untuk memberikan pelayanan publik. Birokrasi dan para pejabatnya lebih menempatkan dirinya sebagai penguasa dari pada sebagai pelayanan masyarakat. Akibatnya sikap dan perilaku birokrasi dalam penyelegaraan pelayanan publik cenderung mengabaikan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Berkembangnya budaya paternalistik ikut memperburuk sistem pelayanan publik melalui penempatan kepentingan elite politik dan birokrasi sebagai variabel yang dominan dalam penyelengaraan pelayanan publik.
Elite politik dan birokrasi, dan atau yang dekat dengan mereka, seringkali memperoleh perlakuan istimewa dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Akses terhadap pelayanan dan kualitas pelayanan publik sering berbeda tergantung pada kedekatannya dengan elite birokrasi dan politik. Hal seperti ini sering mengusik rasa keadilan dalam masyarakat yang merasa diperlakukan secara tidak wajaroleh birokrasi publik.
Meluasnya praktik-praktik KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme)dalam kehidupan birokrasi publik semakin mencoreng image masyarakat terhadap birokrasi publik. KKN tidak hanya telah membuat pelayanan birokrasi menjadi amat sulit dinikmati secara wajar oleh masyarakatnya, tetapi juga membuat masyarakat harus membayar lebih mahal pelayanan yang diselenggarakan oleh swasta.
Rendahnya kemampuan birokrasi merespon krisis ekonomi memperparah krisis kepercayaan terhadap birokrasi publik. Dinamika ekonomi dan politik yang amat tinggi, sebagai akibat dari krisis tersebut ternyata tidak dapat direspons dengan baik oleh birokrasi publik sehingga membuat kehidupan masyarakat menjadi semakin sulit dan tidak pasti. Inisiatif dan kreatifitas birokrasi dalam merespons krisis dan dampaknya sama sekali tidak memadai. Masyarakat yang mengharapkan birokrasi publik dapat memberi respons yang tepat dan cepat terhadap krisis yang terjadi menjadi amat kecewa karena ternyata tindakan birokrasi cenderung reaktif dan tidak efektif. Berbagai persoalan yang terjadi dipusat dan didaerah tidak dapat diselesaikan dengan baik, bahkan cenderung dibiarkan sehingga masyarakat menjadi semakin tidak percaya terhadap kemampuan birokrasi dalam menyelesaikan krisis ini.
Berbagai fenomena diatas menunjukkan betapa rapuhnya kepercayaan dan legitimasi pemerintah dan birokrasinya dimata publik. Ini semua terjadi karena pemerintah dan birokrasinya telah gagal menempatkan dirinya menjadi institusi yang bisa melindungi dan memperjuangkan kebutuhan dan kepentingan publik. Praktik-praktik KKN yang terjadi dalam kehidupan birokrasi telah membuat birokrasi menjadi semakin jauh dari masyarakatnya. Orientasi kepada kekuasaan membuat birokrasinya menjadi semakin tidak responsif dan tidak sensitif terhadap kepentingan masyarakatnya. Dominasi birokrasi dalam kehidupan politik dan ekonomi selama ini ternyata juga menciptakan berbagai distorsi dalam penyelenggaraan pelayanan publik yang cenderung memperburuk krisis ekonomi dan politik yang terjadi. Dalam situasi seperti ini, maka amat sulit mengharapkan pemerintah dan birokrasinya mampu mewujudkan kinerja yang baik. Pemerintah dan birokrasinya telah gagal menyelenggarakan pelayanan publik yang efisien, responsif dan akuntabel.
Untuk menghadapi persaingan bisnis yang sangat kompetatif, kinerja merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh suatu organisasi. Kinerja dalam suatu periode tertentu dapat dijadikan acuan untuk mengukur tingkat keberhasilan organisasi. Oleh karena itu, sistem kinerja yang sesuai dan cocok untuk organisasi sangat diperlukan agar suatu organisasi mampu bersaing dan berkembang. 
Pengukuran kinerja merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi sebuah organisasi. Pengukuran tersebut antara lain dapat digunakan sebagai dasar menyusun sistem imbalan atau sebagai dasar penyusun strategi organisasi atau perusahaan. Sistem pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai alat pengendalian organisasi, karena pengukuran kinerja dibuat dengan menetapkan reward dan punishment system.
Sistem pengukuran kinerja tradisional merupakan salah satu cara yang umumnya digunakan oleh manajemen tradisional untuk mengukur kinerja. Pengukuran kinerja secara tradisional lebih menekankan kepada aspek keuangan, karena lebih mudah diterapkan sehingga tolok ukur kinerja personal diukur berkaitan dengan aspek keuangan saja (Surya Dharma, 2010:78-83). Sistem ini lazim dilakukan dan mempunyai beberapa kelebihan, akan tetapi karena hanya menitikberatkan pada aspek keuangan tentunya menimbulkan adanya kelemahan. Pengukuran kinerja berdasar aspek keuangan dianggap tidak mampu menginformasikan upaya-upaya apa yang harus diambil dalam jangka panjang, untuk meningkatkan kinerja organisasi. Disamping itu, sistem pengukuran kinerja ini dianggap tidak mampu mengukur asset tidak berwujud yang dimiliki organisasi seperti sumber daya manusia, kepuasan pelanggan, dan kesetiaan pelanggan.
Dalam hal ini, Untuk meningkatkan kinerja organisasi, maka diperlukan suatu sistem berbasis kinerja. Kinerja yang baik harus mempunyai sistem pengukuran kinerja yang andal dan berkualitas, sehingga diperlukan penggunaan ukuran kinerja yang tidak hanya mengandalkan aspek keuangan saja tetapi juga memperhatikan aspek-aspek non-keuangan.
Terkait dengan pelayanan publik pada pemerintah daerah Kabupaten Jeneponto sangat menarik untuk dikaji secara biroksari, terutama yang terkait dengan akuntabilitas pelayanan publik. Secara konseptual, LSM Pattiro Jeka  sangat membantu pemerintah daerah dalam hal pelayanan publik, namun kenyataannya di lapangan masih diragukan akuntabilitas pelayanan publik di Kabupaten Jeneponto. Lahirnya lembaga swadaya masyarakat (LSM) Pattiro Jeka di Kabupaten Jeneponto sangat membatu dalam rencana penelitian ini. Hal tersebut berangkat dari tugas dan fungsi LSM tersebut sebagai Organisasi Masyarakat yang mendorong terbentuknya akuntabilitas pelayanan publik di Kabupaten Jeneponto. Dengan Latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk membahas mengenai ”Formasi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Mendorong Akuntabilitas Pelayanan Publik (Study Kasus LSM Pattiro Jeka di Kabupaten Jeneponto)”.         
B.      RUMUSAN MASALAH
            Adapun Permasalahn yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1.      Bagaimana Formasi LSM PATTIRO JEKA dalam mendorong Akuntabilitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah Kabupaten Jeneponto?
2.      Bagaimana kinerja LSM Pattiro Jeka dalam mendorong akuntabilitas Pelayanan Publik di Kabupaten Jeneponto?

C.      TUJUAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN
1.      Tujuan Penelitian
Sesuai dengan masalah yang telah diidentifikasi, maka penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan:
a.      Untuk mengetahui Formasi LSM PATTIRO JEKA dalam mendorong Akuntabilitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah Kabupaten Jeneponto.
b.      Untuk mengetahui Faktor-Faktor penghambat dan pendukung Akuntabilitas Pelayanan Publik pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jeneponto
c.       Untuk mengetahui kinerja LSM Pattiro Jeka dalam mendorong akuntabilitas Pelayanan Publik di Kabupaten Jeneponto.
2.      Kegunaan Penelitian
Penelitian yang dilaksanakan, diharapkan memberikan kegunaan sebagai berikut:
a.      Kegunaan Akademik:
Penelitian ini bermanfaat untuk menambah wawasan dan pengetahuan mengenai penilaian Akuntabilitas Pelayanan Umum Pemerintah Daerah Kabupaten Jeneponto.
b.      Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu Pemerintah Daerah Kabupaten Jeneponto dalam melakukan pengukuran kinerja (akuntabilitas pelayanan publik) yang mampu mencerminkan seluruh aspek dalam melaksanakan tugas dan fungsi di bidang kesehatan, dan diharapkan dapat mengaktualisasikan hal-hal yang berkenaan dengan pelayanan yang berkualitas, pelayanan yang respontif, pelayanan yang akuntabel, pelayanan yang berorientasi kepada pelanggan dan pelayanan yang efisien.



II.            KAJIAN PUSTAKA
A.     Konsep Lembaga Swadaya Masyarakat
Lembaga swadaya masyarakat (disingkat LSM) adalah sebuah organisasi yang di dirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari kegiatannya.
Organisasi ini dalam terjemahan harfiahnya dari Bahasa Inggris dikenal juga sebagai Organisasi non pemerintah (disingkat ornop atau ONP (Bahasa Inggris: non-governmental organization; NGO).[1]
Organisasi tersebut bukan menjadi bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara. Maka secara garis besar organisasi non pemerintah dapat di lihat dengan ciri sbb :
1.       Organisasi ini bukan bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara
  1. Dalam melakukan kegiatan tidak bertujuan untuk memperoleh keuntungan (nirlaba)
  2. Kegiatan dilakukan untuk kepentingan masyarakat umum, tidak hanya untuk kepentingan para anggota seperti yang di lakukan koperasi ataupun organisasi profesi
Berdasarkan Undang-undang No.16 tahun 2001 tentang Yayasan, maka secara umum organisasi non pemerintah di indonesia berbentuk yayasan.
1.      Penilaian Kinerja Lembaga Swadaya Masyarakat
Pada kenyataannya akuntabilitas dapat dibedakan karena faktor lingkungan yang mempengaruhi sikap dan watak kehidupan manusia, sehingga dalam hal ini akuntabilitas dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu akuntabilitas internal dan akuntabilitas eksternal. Adapun yang dimaksud dengan akuntabilitas internal adalah akuntabilitas yang mencerminkan pertanggungjawaban seseorang terhadap Tuhannya. Sedangkan akuntabilitas eksternal adalah pertanggungjawaban seseorang kepada lingkungannya, baik lingkungan formal maupun lingkungan masyarakat. Dengan demikian keberadaan LSM sebagai suatu organisasi yang mempunyai unsur manusia sebagai pengelola dan masyarakat sebagai penerima produk LSM, perlu memiliki kemampuan dalam mengukur akuntabilitas internal maupun eksternal. Sehubungan dengan konsep akuntabilitas eksternal, maka terdapat empat jenis akuntabilitas yang perlu dicermati dengan baik oleh LSM:
1.      Regularity Accountability, atau disebut juga Compliance Accountability merupakan akuntabilitas yang berhubungan dengan kepatuhan terhadap peraturan-perundangan yang berlaku, terutama peraturan keuangan dan peraturan pelaksanaan lainnya yang bersifat administratif.
2.      Managerial Accountability, merupakan akuntabilitas yang berhubungan dengan ruang lingkup pertanggungjawaban pengelola sesuai dengan peran yang dilakukannya dalam pemanfaatan semua sumber daya secara efektif dan efisien serta pelaksanaan proses manajerial dalam suatu LSM.
3.      Program Accountability, merupakan akuntabilitas yang berhubungan dengan pertanggungjawaban dalam hal pencapaian akhir dalam suatu program kegiatan LSM.
4.      Process Accountability, merupakan akuntabilitas yang menitikberatkan pada pertanggungjawaban tingkat pencapaian kesejahteraan sosial atas pelaksanaan kebijakan dan aktivitas-aktivitas organisasi.
Dalam kerangka ketatanegaraan, keberadaan LSM dapat dihubungkan dengan akuntabilitas yang secara umum dapat dibedakan ke dalam tiga jenis akuntabilitas, yaitu:
1.      Democratic Accountability, akuntabilitas yang berkaitan dengan pertanggungjawaban LSM terhadap seluruh lapisan masyarakat yang kepentingannya difokuskan oleh LSM yang bersangkutan;
2.      Professional Accountability, berkaitan dengan pertanggungjawaban para professional dalam melaksanakan tugas profesinya di LSM yang dilandasi dengan norma-norma dan etika profesi;
3.      Legal Accountability, pertanggungjawaban atas ketaatan terhadap peraturan perundangan yang berlaku dalam setiap proses pelaksanaan fungsi LSM dalam mencari alternatif pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat.
Secara umum keberadaan setiap organisasi cenderung untuk melakukan pengukuran kinerja yang diharapkan untuk menjawab akuntabilitas organisasinya. Pada kenyataannya paling tidak terdapat lima aspek yang sangat umum untuk mengetahui kinerja dari suatu organisasi, yaitu:
a.      Aspek Finansial
Dalam aspek finansial perlu ditelaah lebih mendalam mengenai alur masuk dan alur keluar setiap anggaran yang diperoleh dari berbagai sumber dana. Sehubungan dengan aspek finansial ini, kiranya dapat dianalogikan sebagai satu aliran darah dalam tubuh manusia, sehingga aspek finansial merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan dalam pengukuran kinerja organisasi.
b.      Operasi Kegiatan Internal
Informasi operasi kegiatan internal sangat diperlukan untuk memastikan bahwa seluruh kegiatan LSM sudah in-concert (seirama) untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi seperti yang tercantum dalam rencana strategis. Di samping itu, informasi operasi kegiatan internal diperlukan untuk melakukan perbaikan terus-menerus atas efisiensi dan efektivitas operasi organisasi.
a.      Kepuasan Staf
Secara empiris dalam setiap organisasi, keberadaan staf merupakan aset yang harus dikelola dengan baik. Apalagi dalam LSM yang banyak melakukan kegiatan yang sangat signifikan seperti halnya dalam penanganan isu nasional, peran strategis staf sungguh sangat penting. Apabila staf tidak diberdayakan dengan baik, maka kegagalan misi dari LSM yang bersangkutan sangat mungkin dapat terjadi dengan mudah.
b.      Kepuasan Komunitas dan Shareholders/Stakeholders
LSM tidak beroperasi “in vacuum”, artinya seluruh kegiatan LSM selalu berinteraksi dengan berbagai pihak yang menaruh kepentingan terhadap keberadaannya. Hal ini mengandung pengertian, bahwa interaksi yang terjadi tidak terbatas kepada interaksi dengan masyarakat, tetapi juga dengan sesama LSM maupun lembaga pemerintah. Dengan demikian informasi dari pengukuran kinerja perlu didesain untuk dapat dengan mudah mengakomodasi semua kepuasan dari shareholders/stakeholders.
c.       Waktu
Dimensi waktu merupakan variable yang akan perlu diperhatikan dalam desain pengukuran kinerja. Berdasarkan pengalaman berbagai organisasi pada kenyataannya sangat membutuhkan informasi untuk pengambilan keputusan, namun informasi tersebut sangat lambat diterima atau informasi yang ada sering sudah tidak relevan dengan aspek yang ditangani.
Peningkatan Kinerja
Sebagai suatu organisasi non-pemerintah, LSM yang telah memiliki visi, misi, tujuan dan sasaran, harus menjalankan strategi untuk mencapainya. Dalam hubungan ini LSM sangat membutuhkan syarat pokok berupa kemampuan untuk membangun identitas dan kredibilitas di lingkungannya, baik masyarakat maupun pemerintah.
Kedua, hal ini merupakan modal dasar setiap LSM yang akan berpengaruh terhadap kinerja dan berbagai pemikiran yang dilontarkan ke lingkungannya. Dengan demikian LSM perlu membenahi dirinya lebih terfokus, terjangkau dan terbuka dalam setiap kegiatannya. Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, maka secara sistematik LSM perlu mengambil beberapa langkah untuk meningkatkan kinerjanya sesuai dengan prinsip akuntabilitas dan transparansi:
1.      LSM perlu mengubah strategi dari kebiasaan hanya menyampaikan isu menjadi LSM dengan pola kerja yang menekankan pada pemberian alternatif pemecahan masalah, baik dalam bentuk formal maupun informal;
2.      LSM perlu menetapkan beberapa isu penting yang akan dikerjakan secara konsisten dengan mendasarkan kepada ketepatan konsep yang kontekstual;
3.      LSM harus mampu membangun dan memperluas jaringan komunikasi dengan berbagai pihak baik sesama LSM maupun lembaga pemerintah;L
4.      SM dinilai perlu untuk mengembangkan berbagai upaya yang berakibat keberadaannya dapat terjangkau oleh komunitas lokal dan akar rumput.
5.      LSM perlu menegaskan identitasnya dengan memajukan prinsip-prinsip dasar manajemen dan sekaligus menunjukkan pada masyarakat metode kerjanya.
Dalam menghadapi berbagai masalah dan tantangan nasional yang semakin banyak dan cenderung sangat kompleks, maka keberadaan LSM harus dikaji ulang oleh dirinya dan juga oleh masyarakat dengan menekankan kepada aspek kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian perlu dilakukan perubahan yang sangat mendasar dengan cakupan orientasi organisasi, peningkatan pengetahuan dan pengalaman, di samping upaya pembinaan kemampuan untuk bekerja sama dengan institusi yang berbeda dan media massa. Dari perubahan yang dilakukan tersebut diharapkan adanya kemampuan peningkatan akuntabilitas LSM yang mencerminkan pertanggungjawaban kepadastakeholders sebagai upaya perwujudan budaya transparansi.
B.      Konsep Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah sebuah konsep etika yang dekat dengan administrasi publik pemerintahan (lembaga eksekutif pemerintah, lembaga legislatif parlemen dan lembaga yudikatif Kehakiman) yang mempunyai beberapa arti antara lain, hal ini sering digunakan secara sinonim dengan konsep-konsep seperti yang dapat dipertanggungjawabkan (responsibility),[1]yang dapat dipertanyakan (answerability), yang dapat dipersalahkan (blameworthiness) dan yang mempunyai ketidakbebasan (liability) termasuk istilah lain yang mempunyai keterkaitan dengan harapan dapat menerangkannya salah satu aspek dari administrasi publik atau pemerintahan, hal ini sebenarnya telah menjadi pusat-pusat diskusi yang terkait dengan tingkat problembilitas di sektor publik, perusahaan nirlaba, yayasan dan perusahaan-perusahaan.
Dalam peran kepemimpinan, akuntabilitas dapat merupakan pengetahuan dan adanya pertanggungjawaban tehadap tiap tindakan, produk, keputusan dan kebijakan termasuk pula di dalamnya administrasi publik pemerintahan, dan pelaksanaan dalam lingkup peran atau posisi kerja yang mencakup di dalam mempunyai suatu kewajiban untuk melaporkan, menjelaskan dan dapat dipertanyakan bagi tiap-tiap konsekuensi yang sudah dihasilkan.
akuntabilitas merupakan istilah yang terkait dengan tata kelola pemerintahan sebenarnya agak terlalu luas untuk dapat didefinisikan. [2][3]akan tetapi hal ini sering dapat digambarkan sebagai hubungan antara yang menyangkut saat sekarang ataupun masa depan, antar individu, kelompok sebagai sebuah pertanggungjawaban kepentingan merupakan sebuah kewajiban untuk memberitahukan, menjelaskan terhadap tiap-tiap tindakan dan keputusannya agar dapat disetujui maupun ditolak atau dapat diberikan hukuman bilamana diketemukan adanya penyalahgunaan kewenangan.[2]
Aturan dan norma internal serta beberapa komisi independen adalah mekanisme untuk menampung birokrasi dalam tanggung jawab administrasi pemerintah. Dalam kementerian atau pelayanan, pertama, perilaku dibatasi oleh aturan dan peraturan; kedua, pegawai negeri dalam hierarki bawahan bertanggung jawab kepada atasan. Dengan diikuti adanya unit pengawas independen guna memeriksa dan mempertanggung jawabkan, legitimasi komisi ini dibangun di atas kemerdekaan mereka agar dapat terhindar dari konflik kepentingan apapun. Selain dari pemeriksaan internal, terdapat pula beberapa unit pengawas yang bertugas untuk menerima keluhan dari masyarakat sebagai akuntabilitas kepada warga negara.
C.      Konsep Kinerja Pelayanan Publik
1.      Defenisi Kinerja
Menurut Helfert (Srimindarti, 2004: 53) Kinerja perusahaan adalah suatu tampilan keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu, merupakan hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam memanfaatkan sumber daya-sumber daya yang dimiliki. Kinerja merupakan suatu istilah secara umum yang digunakan untuk sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu periode dengan referensi pada sejumlah standar seperti biaya-biaya masa lalu atau yang diproyeksikan, dengan dasar efisiensi, pertanggungjawaban atau akuntabilitas manajemen dan semacamnya (Srimindarti, 2004).
Jadi pengukuran kinerja merupakan suatu proses penilaian kegiatan operasional perusahaan berupa tindakan dan aktivitas suatu organisasi pada periode tertentu sesuai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, pengukuran kinerja adalah penilaian tingkat efektifitas dan efisiensi dari aktivitas organisasi.
2.      Penilaian Kinerja
Tujuan utama dari penilaian kinerja adalah untuk memotivasi personal dalam mencapai sasaran organisasi dan dalam memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan oleh organisasi (Mulyadi, 2001: 416).Penilaian kinerja dapatdigunakan sebagai media untuk menekan perilaku yang tidak semestinya dan merangsang serta menegakkan perilaku yang semestinya, melalui umpan balik yang dihasilkan kinerja pada waktunya serta pemberian penghargaan, baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik.
Penilaian kinerja dapat digunakan oleh seorang manajer untuk memperoleh dasar yang obyektif dalam memberikan kompensasi sesuai dengan prestasi yang dilakukan masing-masing pusat pertanggungjawaban kepada perusahaan secara keseluruhan. Semua ini diharapkan agar dapat memberi motivasi dan rangsangan pada masing-masing bagian untuk bekerja lebih efektif dan efisien.
Menurut Mulyadi (2001: 420), Penilaian kinerja dilaksanakan dalam dua tahap utama yaitu:
a.      Tahap persiapan, terdiri dari tiga tahap rinci:
1)      Penentuan daerah pertanggungjawaban dan manajer yang bertanggungjawab.
2)      Penetapan kriteria yang dipakai untuk mengukur kinerja.
3)      Pengukuran kinerja sesungguhnya.
b.      Tahap penilaian terdiri dari tiga tahap rinci:
1)      Pembandingan kinerja sesungguhnya dengan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
2)      Penentuan penyebab timbulnya penyimpangan kinerja sesungguhnya dari yang ditetapkan dalam standar.
.
Menurut Hansen dan Mowen (2009), Ukuran kinerja diturunkan dari visi, strategi, dan tujuan perusahan. Ukuran-ukuran tersebut harus diseimbangkan dengan ukuran lain yaitu:
a.      Ukuran Lag, berupa ukuran hasil dari usaha masa lalu.
b.      Ukuran Lead, berupa faktor yang menggerakkan kinerja masa depan.
c.       Ukuran Objektif, ukuran yang bisa langsung dihitung dan diverifikasi.
d.      Ukuran Subjektif, berupa ukuran yang lebih bersifat praduga.
e.      Ukuran Keuangan, ukuran yang dinyatakan dalam istilah moneter.
f.        Ukuran Nonkeuangan, ukuran yang dinyatakan menggunakan unit-unit nonmoneter.
g.      Ukuran Eksternal, berkaitan dengan pelanggan dan pemegang saham.
h.      Ukuran Internal, berkaitan dengan proses dan kemampuan menciptakan nilai bagi pelanggan.
Pengukuran kinerja yang efektif setidaknya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Yuwono, dkk: 2003):
a.      Didasarkan pada masing masing aktivitas dan karakteristik organisasi itu sendiri sesuai dengan perspektif pelanggan.
b.      Evaluasi atas berbagai aktivitas, menggunakan ukuran-ukuran kinerja yang customer-validated.
c.       Sesuai dengan seluruh aspek kinerja aktivitas yang mempengaruhi pelanggan.
d.      Memberikan umpan balik untuk membantu masalah-masalah yang ada kemungkinan perbaikan.
3.      Penilaian Kinerja Organisasi Sektor Publik
Konsep pengukuran kinerja pada organisasi sektor publik adalah bertujuan untuk membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur finansial dan non finansial. Pengukuran kinerja sektor publik dilakukanuntuk memperbaiki kinerja pemerintah, pengalokasian sumber daya dan pembuatan keputusan, dan mewujudkan pertanggungjawaban publik serta memperbaiki komunikasi pelanggan.
4.      Tujuan Penilaian Kinerja Sektor Publik
            Tujuan pengukuran kinerja sektor publik menurut Mardiasmo (2002: 122) adalah:
a.      Mengkomunikasikan strategi secara lebih mantap.
b.      Mengukur kinerja finansial dan non-finansial secara berimbang sehingga dapat ditelusuri perkembangan pencapaian strategi.
c.       Mengakomodasi pemahaman kepentingan manajer level menengah dan bawah serta memotivasi untuk mencapai goal congruence.
d.      Alat untuk mencapai kepuasan berdasarkan pendekatan individual dan kemampuan kolektif rasional.
5.      Manfaat Penilaian Kinerja Sektor Publik
Manfaat pengukuran kinerja sektor publik menurut Lynch dan Cross (dalam Yuwono, 2002) adalah:
a.      Menelusuri kinerja terhadap harapan pelanggan sehingga akan membawa perusahaan lebih dekat kepada pelanggannya dan membuat seluruh orang dalam organisasi terlibat dalam upaya memberi kepuasan kepada pelanggan.
b.      Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata rantai pelanggan dan pemasok internal.
c.       Mengidentifikasi berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya pengurangan terhadap pemborosan tersebut (reduction of waste).
d.      Membuat suatu tujuan strategis yang biasanya masih kabur menjadi lebih konkrit sehingga mempercepat proses pembelajaran.
e.      Membangun konsensus untuk melakukan suatu perubahan dengan memberi reward atas perilaku tersebut.
1.      Defenisi Pelayanan
            Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008: 646) dijelaskan pelayanan sebagai usaha melayani kebutuhan orang lain. Sedangkan melayani adalah membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan seseorang. Kep. MenPan. No.81/93 menyatakan bahwa pelayanan umum adalah segala bentuk pelayanan yang diberikan oleh pemerintah pusat daerah, BUMN/ BUMD, dalam rangkan pemenuhan kebutuhan masyarakat, dan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku (Inu Kencana Syafiie, 2011: 75).
            Servis berasal dari orang-orang bukan dari perusahaan. Tanpa memberi nilai pada diri sendiri, tidak akan mempunyai arti apa-apa. Demikian halnya pada organisasi atau perusahaan yang secara essensial merupakan kumpulan orang-orang. Oleh karena itu, harga diri yang tinggi adalah unsur yang paling mendasar bagi keberhasilan organisasi yang menyediakan jasa pelayanan yang berkualitas.
            Tjiptono (1991:61) menyimpulkan bahwa citra kualitas pelayanan yang baik bukanlah berdasarkan sudut pandang/ persepsi penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang/ persepsi konsumen. Hal ini disebabkan karena konsumenlah yang mengkonsumsi serta yang menikmati jasa layanan, sehingga merekalah yang seharusnya menentukan kualitas jasa. Persepsi konsumen terhadap kualitas jasa merupakan penilaian yang menyeluruh terhadap keunggulan suatu jasa layanan.
            Bagi pelanggan kualitas pelayanan adalah menyesuaikan diri dengan spesifikasi yang dituntut pelanggan. Pelanggan memutuskan bagaimana kualitas yang dimaksud dan yang dianggap penting. Pelanggan mempertimbangkan suatu kualitas pelayanan. Untuk itu, kualitas dapat dideteksi pada persoalan bentuk, sehingga dapat ditemukan:
a.      Kualitas pelayanan merupakan bentuk dari sebuah janji
b.      Kualitas adalah tercapainya sebuah harapan dan kenyataan sesuai komitmen yang telah ditetapkan sebelumnya.
c.       Kualitas dan integritas merupakan sesuatu yang tak terpisahkan.
            Peningkatan Kualitas Pelayanan Publik merupakan salah satu agenda reformasi birokrasi, yang bertolak dari kenyataan buruk kondisi faktual kualitas  pelayanan publik yang sebagian besar ditentukan oleh kualitas sikap dan karakter aparatur pemerintah yang terpuji, korup, dan tidak bertanggung jawab.
            Penyelenggaraan pelayanan publik merupakan upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar dan hak-hak sipil setiap warga negara atas barang, jasa, dan pelayanan administrasi yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Undang-Undang Dasar 1945 mengamantakan kepada negara untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara demi kesejahteraannya, sehingga efektifitas suatu sistem pemerintahan sangat ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan pelayanan publik. Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 pun secara tegas menyatakan bahwa salah satu tujuan didirikan Negara Republik Indonesia  adalah untuk memajukan kesejahteraan publik dan mencerdaskan  kehidupan bangsa.
2.      Manajemen Pelayanan
Ketika pelanggan mempunyai urusan/ keperluan pada sebuah organisasi, baik organisasi pemerintah maupun swasta, ia akan merasa senang atau tidak senang saat dilayani oleh petugas. Jika pelanggan merasa senang dilayani oleh petugas tersebut, maka pelayanan petugas sangat memuaskan atau pelayanan petugas berkualitas. Sebaliknya, ketika pelanggan merass dirugikan aparat akibat pelayanannya berbelit-belit, tidak terbuka/transparan tentang apa yang diinginkan oleh aparat itu, maka dapat dikatakan pelayanannya tidak berkualitas.
Suatu pertanyaan yang perlu mendapatkan jawaban ialah mengapa pelanggan tidak mendapatkan pelayanan seperti yang diharapkan? Apakah semua persyaratan tela dilengkapi? Jika semua persyaratan telah dilengkapi tetapi pelanggan tidak mendapatkan pelayanan yang memuaskan, maka dapat disimpulkan bahwa kemungkinan terdapat sesuatu yang belum terbaca atau belum terdapat dalam suatu memorandum of understanding antara pelayan di suatu pihak dan pelanggan yang sedang dalam proses pelayanan di lain pihak. Untuk mendapatkan jawaban kepastian kualitas pelayanan, diperlukan kesepahaman tentang aturan main pelayanan yang diberikan, baik dari sisi aparatur pelayan maupun pelanggan.
Kualitas pelayanan adalah pelayanan yang diberikan kepada pelanggan sesuai dengan standar pelayanan yang telah dibakukan sebagai pedoman dalam pemberian layanan. Standar pelayanan adalh ukuran yang telah ditentukan sebagai suatu pembakuan pelayanan yang baik.
Gaspersz (1997) menyatakan secara singkat beberapa langkah yang diperlukan untuk menjadikan sistem kualitas modern menjadi lebih efektif, antara lain:
a.      Mendefenisikan dan merinci sasaran dan kebijaksanaan kualitas
b.      Berorientasi pada kepuasan pelanggan
c.       Mengarahkan aktifitas-aktifitas itu dalam organisasi
d.      Memberikan penjelasan maupu tugas-tugas kepada pekerja untuk bersikap mementingkan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan untuk menyukseskan program pengendalian kualitas terpadu.
e.      Merinci aktifitas pengendalian kualitas pada penjualan produk.
f.        Mengidentifikasikan kualitas peralatan secara cermat.
g.      Mengidentifikasikan dan mengefektifkan aliran informasi kualitas, memprosesnya untuk mengendalikannya.
h.      Melakukan pelatihan (training) serta memotivasi karyawan untuk terus bekerja dengan orientasi meningkatkan kualitas.
i.        Melakukan pengendalian terhadap ongkos kualitas dan pengukuran lainnya serta menerapkan standar kualitas yang diinginkan
j.        Mengefektifkan tindakan koreksi yang bersifat positif
k.       Melanjutkan sistem pengendalian, mencakup langkah selanjutnya dan menerima informasi umpan balik, melakukan analisis hasil, serta membandingkan dengan standar kualitas yang telah ditetapkan.
l.        Memeriksa aktifitas dari sistem kualitas modern secara periodik.
3.      Sektor Publik
1.      Defenisi Sektor Publik
Istilah sektor publik memiliki pengertian yang bermacam-macam. Hal tersebut merupakan konsekuensi dari luasnya wilayah publik, sehingga setiap disiplin ilmu memiliki cara pandang dan definisi yang berbeda-beda. Dari sudut pandang ilmu ekonomi, sektor publik dapat dipahami sebagai suatu entitas yang aktivitasnya berhubungan dengan usaha untuk menghasilkan barang dan pelayanan publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dan hak publik (Mardiasmo, 2004:2).
Domain publik memiliki wilayah yang lebih luas dan kompleks dibandingkan dengan sektor swasta. Keluasan wilayah publik ini tidak hanya disebabkan luasnya jenis dan bentuk organisasi yang berada didalamnya, akan tetapi juga karena kompleksnya lingkungan yang mempengaruhi lembaga-lembaga publik tersebut. Secara kelembagaan, domain publik antara lain meliputi badan-badan pemerintahan (pemerintah pusat dan daerah serta unit kerja pemerintah), perusahaan milik negara (BUMN dan BUMD), yayasan, organisasi politik dan organisasi massa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), universitas dan organisasi nirlaba lainnya. Jika dilihat dari variabel lingkungan, sektor publik dipengaruhi oleh banyak faktor tidak hanya faktor ekonomi semata, akan tetapi faktor politik, sosial, budaya, dan historis juga memiliki pengaruh yang signifikan. Sektor publik tidak seragam dan sangat heterogen (Mardiasmo, 2004:1). Dalam penelitian ini, sektor publik yang menjadi obyek penelitian peneliti adalah BUMN dan BUMD.
Sifat lembaga pemerintahan berbeda dengan sektor swasta. Berikut adalah sifat khas lembaga pemerintahan menurut Edward S. Lyn yang dikemukakan oleh Baswir (2000:9), yaitu:
a.      Keinginan mengejar laba tidak inklusif didalam usaha dan kegiatannya.
b.      Tidak dimiliki secara pribadi akan tetapi secara kolektif oleh seluruh warga negara, dan pemilikan ini tidak dibuktikan oleh adanya pemilikan saham yang dapat diperjualbelikan atau diperdagangkan.
c.       Sumbangan masyarakat terhadap pemerintah, seperti pajak, tidak ada hubungannya secara langsung dengan jasa yang diterima masyarakat dari pemerinta, demikian pula sebaliknya.
Bastian (2003:60) mengatakan bahwa dari sisi kebijakan publik, sektor publik dipahami sebagai tuntutan pajak, birokrasi yang berlebihan, pemerintahan yang besar dan nasionalisasi versus privatisasi. Dalam arti luas, sektor publik disebut bidang yang membicarakan metoda manajemen negara, sedangkan dalam arti sempit, diartikan sebagai pembahasan pajak dan kebijakan pajak.
2.      Perbedaan dan persamaan sektor publik dan sektor swasta
Mardiasmo (2004:13) mengungkapkan bahwa meskipun sektor publik memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda dengan sektor swasta, akan tetapi dalam beberapa hal terdapat persamaan, yaitu:
a.      Kedua sektor merupakan bagian integral dari sistem ekonomi di suatu negara dan keduanya menggunakan sumber daya yang sama untuk mencapai tujuan organisasi.
b.      Keduanya menghadapi masalah yang sama, yaitu masalah kelangkaan sumber daya (scarcity of resources), sehingga baik sektor publik maupun sektor swasta dituntut untuk menggunakan sumber daya organisasi secara ekonomis, efisien, dan efektif.
c.       Proses pengendalian manajemen termasuk manajemen keuangan, pada dasarnya sama di kedua sektor. Keduanya sama-sama membutuhkan informasi yang handal dan relevan untuk melaksanakan fungsi manajemen, yaitu: perencanaan, pengorganisasian, dan pengendalian.
d.      Pada beberapa hal, kedua sektor menghasilkan produk yang sama, misalnya: baik pemerintah maupun swasta sama-sama bergerak dibidang transportasi massa, pendidikan, kesehatan, penyediaan energi, dan sebagainya.
e.      Kedua sektor terikat pada peraturan perundangan dan ketentuan hukum lain yang disyaratkan.
3.      Audit sektor publik
Audit sektor publik berbeda dengan audit pada sektor bisnis atau audit sektor swasta. Audit sektor publik dilakukan pada organisasi pemerintahan yang bersifat nirlaba seperti sektor pemerintahan daerah (pemda), BUMN, BUMD dan instansi lain yang berkaitan dengan pengelolaan aset kekayaan negara. Mekanisme audit dapat menggerakkan makna akuntabilitas di dalam pengelolaan sektor pemerintahan, BUMN atau instansi pengelola aset negara lainnya.
Berikut adalah beberapa hal yang mendasari kebutuhan akan proses auditing pada sektor publik yang disampaikan oleh Bastian (2003:4), yaitu:
a.      Kendali saat ini ada ditangan masyarakat. Masyarakat memiliki hak yang bebas untuk mengakses informasi mengenai pengelolaan sumber daya publik.
b.      Kompleksitas laporan keuangan. Semakin kompleks laporan keuangan yang dihasilkan tingkat kesalahan semakin tinggi pula.
c.       Pihak manajemen Pemda memiliki kecenderungan ingin sukses dan meminimalisir kesalahan pemerintahannya, sehingga perlu diverifikasi kebenarannya dari laporan keuangan yang disajikan oleh mereka.
d.      Kontrol dan kredibilitas. Pemeriksaan akan informasi keuangan penting untuk menghindari adanya kesalahan penyajian dan pengungkapan.
e.      Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan. Proses audit akan memberikan nilai tambah bagi pemenuhan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan.
f.        Identifikasi terhadap kelemahan system.
Nichols seperti yang dikutip oleh Mardiasmo (2004:23) mengatakan bahwa perusahaan publik tidak luput dari tudingan sebagai sarang korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi, dan sumber pemborosan negara. Rendahnya kinerja perusahaan publik diperkuat dengan bukti ambruknya sektor bisnis pemerintah di banyak negara sehingga menimbulkan pertanyaan publik mengenai kemampuan pemerintah dalam menjalankan perusahaan publik secara ekonomis dan efisien.
Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah di Indonesia juga masih banyak yang tidak dijalankan secara efisien. Inefisien yang dialami oleh BUMN dan BUMD tersebut antara lain disebabkan adanya intervensi politik, sentralisasi, rent seeking behaviour, dan manajemen yang buruk.
4.      Tipe-tipe audit sektor publik
Audit sektor publik adalah jasa penyelidikan bagi masyarakat atas organisasi publik dan politikus yang sudah mereka bayar. Menurut Bastian (2003:52), audit sektor publik terdiri atas tiga tipe, yaitu:
a.      Audit Keuangan (Financial Audit)
b.      Audit Kinerja (Performance Audit) yang terdiri atas Audit Ekonomi dan Efisiensi, dan Audit Program.
c.       Audit Investigasi (Special Audit)
5.      Manajemen audit sektor publik
Sektor publik sering dinilai sebagai sarang inefisiensi, pemborosan, sumber kebocoran dana, dan institusi yang selalu merugi. Tuntutan baru muncul agar sektor publik memperhatikan pengelolaan organisasi yang mendasarkan pada konsep ekonomisasi, efisiensi dan efektivitas.
Di tengah berbagai kritik bahwa keberadaan sektor publik tidak efisien dan jauh tertinggal dengan kemajuan dan perkembangan yang terjadi di sektor swasta, lembaga sektor publik masih memiliki kesempatan yang luas untuk memperbaiki kinerjanya dan memanfaatkan sumberdaya secara ekonomis, efisien, dan efektif. Istilah “akuntabilitas publik, value for money, reformasi sektor publik, privatisasi, good public governance,” telah begitu cepat masuk kedalam kamus sektor publik (Mardiasmo, 2004:17). Bahkan istilah pemeriksaan khusus terhadap kasus-kasus yang diperkirakan mengandung unsur penyimpangan yang merugikan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah sudah dikenal luas di lingkungan pemerintahan dan BUMN/BUMD (Karni, 2000:117).
D.     Kerangka Pikir
Hasil telaah pustaka yang telah dipaparkan diatas terlihat bahwa Kinerja Pelayanan memberikan dampak dan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu bangsa dan merupakan usaha dalam menterjamahkan pesan-pesan kontitusi serta sarana dalam membangun watak bangsa. Pelayanan yang adil dan merata terhadap semua kalangan akan memberikan nuansa kehidupan secara progresif yang akan membentuk kepedulian dan rasa bertanggung jawab, apalagi ditopang oleh ahlak yang mulia.
Ketika para pelayan publik berupaya memfokuskan perhatian pada masalah pencapaian tujuan pelayanan yang adil dan merata, maka persoalan pelayanan sektor publik terhadap partisipasi politik menjadi syarat mutlak menyertai keseluruhan potensi dan perilaku para masyarakat dalam menerima perlakuan yang sama dan adil.
Kinerja pelayanan sektor publik berperan penting dalam peningkatan partisipasi politik, dan begitupun sebaliknya. Kinerja Pelayanan yang sehat pada dasarnya merupakan proses kegiatan untuk meningkatkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap sektor publik yang selama ini selalu dianggap lebih condong ke kalangan elit yang memiliki finansial yang berkecukupan. Sebab secara logis dapat diterangkan bahwa dengan kinerja pelayanan yang adil dan merata, maka partisipasi politik dapat diselesaikan dengan rasional dalam membangun hubungan yang baik antara masyarakat dengan pemerintah yang selama ini renggang karena kebijakan-kebijakan yang selalu mengesampingkan kalangan ke bawah sehingga suatu partisipasi politik dapat terselesaikan secara demokrasi. Hal ini dapat menumbuhkan sikap dan kemampuan kerja sama diatara sesama masyarakat dalam partisipasi politik






Adapun kerangka pikir dari penilitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Skema Kerangka Pikir





Rounded Rectangle: Formasi Organisasi
LSM Pattiro Jeka

Rounded Rectangle: Ø Mengkomunikasikan pelayanan publik secara lebih baik.
Ø Mengukur Finansial dan Non-Finansial.
Ø Mengakomodasikan Pemahaman dan Memotivasi.
Ø Memberikan Pelayanan yang Maksimal

Rounded Rectangle: Peningkatan Kinerja Pelayanan Sektor Publik
E.      Defenisi Operasional
1.      Kinerja merupakan suatu istilah secara umum yang digunakan untuk sebagian atau seluruh tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu periode dengan referensi pada sejumlah standar seperti biaya-biaya masa lalu atau yang diproyeksikan, dengan dasar efisiensi, pertanggungjawaban atau akuntabilitas manajemen dan semacamnya (Srimindarti, 2004).
2.       Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan.
3.      Sektor Publik adalah suatu entitas yang aktivitasnya berhubungan dengan usaha untuk menghasilkan barang dan pelayanan publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dan hak publik.
4.      Mengkomunikasikan strategi pelayanan secara lebih baik adalah prinsip utama dalam melayani pasien. Cara ini dilakukan agar seluruh masyarakat dapat mengerti skema pelayanan dan menikmati kenyamanan dari pelayanan rumah sakit. Selain itu, pasien juga dapan mengetahui kinerja pelayanan sektor publik rumah sakit tersebut.
5.      Mengukur finansial dan non-finansial merupakan faktor pendukung kualitas dan kuantitas sarana dan prasarana lembaga swadaya masyarakat. Finansial harus dimenej secara baik karena hal ini merupakan faktor pendukung berkembangnya pelayanan publik LSM Pattiro Jeka.
6.      Memberikan pelayanan yang maksimal adalah tujuan utama dalam pelayanan LSM Pattiro Jeka. Dengan adanya pelayanan yang maksimal, maka kinerja pelayanan publik bisa dinilai sejauh mana peningkatan kinerja LSM Tersebut tersebut.


7.       
BAB III
METODE PENELITIAN
A.     Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian ini berlokasi Kabupaten Jeneponto tentang  Formasi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Mendorong Akuntabilitas Pelayanan Publik (Study Kasus LSM Pattiro Jeka. Dengan mengambil obyek penelitian di Kabupaten Jeneponto mengenai Formasi Organisasi Masyarakat Sipil dalam Mendorong Akuntabilitas Pelayanan kinerja pelayanan publik. Waktu penelitian ini akan dilakukan ± 2 (dua) bulan dengan pertimbangan penulis memilih lokasi tersebut karena penulis melihat belum maksimalnya formasi organisasi masyarakat sipil dalam mendorong akuntabilitas kinerja pelayanan publik khususnya LSM pattiro Jeka di kabupaten jeneponto.
B.      Tipe dan Dasar Penelitian
Adapun tipe dan dasar penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:
1.      Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan tujuan untuk memberikan gambaran tentang sejauh mana kinerja pelayanan publik khususnya pada LSM Pattiro Jeka Kabupaten Jeneponto.
2.      Dasar penelitian yang dilakukan adalah survey yaitu penelitian yang pelaksanaannya dengan cara mengumpulkan data dan informasi sebanyak mungkin lalu kemudian melakukan penarikan kesimpulan mengenai apa yang hendak diperoleh dalam penelitian.
C.      Populasi dan Sampel
1.      Populasi
Dalam penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh perangkat kerja Lembaga Swadaya Masyarakat Pattiro Jeka Kabupaten Jeneponto.
2.      Sampel
Di dalam penelitian ini teknik penentuan sampel digunakan adalah Purposive Sampling. Purposive Sampling adalah teknik pengambilan sampel atas dasar keterwakilan/sengaja populasi dengan sampel yang berjumlah 15 orang dari pegawai LSM Pettiro Jeka dan 45 dari masyarakat setempat. Teknik sampling ini dipilih untuk mewakili setiap bagian pada para pegawai di LSM Pattiro Jeka Kabupaten Jeneponto.
·         Responden, terdiri dari atas:
No
JABATAN
JUMLAH
1.
Ketua LSM Pattiro Jeka
1 orang
2.
Sekretasis LSM Pattiro Jeka
1 orang
3.
Pengurus Harian LSM Pattiro Jeka
13 orang
4.
Masyarakat Setempat
45 orang

Jumlah
60 orang

D.     Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.      Observasi adalah teknik pengumpulan data yang ada di lapangan melalui pengamatan dengan dua cara yaitu:
a.      Pengamatan langsung
Pengamatan yang dilakukan tanpa perantara terhadap objek yang diteliti.
b.      Pengamatan tidak langsung
Pengamatan yang dilakukan terhadap suatu objek melalui perantara suatu alat atau cara, baik dilaksanakan dalam situasi sebenarnya maupun buatan.
2.      Kuesioner adalah suatu teknik pengumpulan data dengan menyebarkan sejumlah angket kepada responden yang ditetapkan sebagai sampel.
3.      Wawancara adalah melakukan tanya jawab secara tatap muka dengan mengajukan pertanyaan secara langsung kepada informan, sesuai dengan pedoman atau daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh peneliti.
E.      Jenis dan sumber data
1.      Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada dua jenis data, yaitu data kuantitatif dan data kualitatif:
a.      Data kuantitatif adalah data-data yang diperoleh dalam bentuk angka-angka.
b.      Data kualitatif adalah data-data yang tidak berbentuk angka, tetapi cukup menggambarkan suatu keadaan yang berhubungan dengan kinerja pelayanan Lembaga Swadaya Masyarakat Pattiro Jeka Kabupaten Jeneponto.
2.      Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan sekunder:
a.      Data primer adalah data yang dikumpulkan dan diolah sendiri oleh pengguna data, yang diperoleh melalui kuesioner dan wawancara secara intensif terhadap beberapa responden yang ditetapkan sebagai sampel.
b.      Data sekunder adalah data yang dikumpulkan peneliti dari dokumen-dokumen dan laporan-laporan dengan masalah yang diteliti.
F.       Teknik Analisis Data
Data dalam penelitian ini dianalisis menurut pendekatankualitatifdeskriptif yaitu dengan cara dimana data yang sudah diperoleh dari hasil observasi, wawancara, dan kuesioner diolah dengan baik menjadi perangkat informasi yang bisa memperoleh kesimpulan. Kemudian data dikumpulkaan yang berkaitan dengan objek yang telah diteliti, dianalisis dalam bentuk deskriftif.
G.     Sistematika Penulisan Skripsi
BAB I Pendahuluan, memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian.
BAB II Kajian Pustaka, memuat defenisi, kerangka pemikiran, dan defenisi operasional.
BAB III Metode Penelitian, memuat lokasi penelitian, tipe dan dasar penelitian, populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, jenis dan sumber data, teknik analisis data, sistematika penulisan skripsi.
BAB IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, memuat gambaran umum tentang Lembaga Swadaya Masyarakat Pattiro Jeka Kabupaten Jeneponto, serta pembahasan mengenai formasi organisasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan .pada LSM Pattiro Jeka Kabupaten Jeneponto.
BAB V Penutup, memuat kesimpulan dan saran
Daftar Pustaka
DAFTAR PUSTAKA

Dharma, Surya. 2010. Manajemen Kinerja: Falsafah Teori dan Penerapannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Kencana Syafiie, Inu. 2011. Manajemen Pemerintahan. Pustaka Reka Cipta. Bandung.
Madani, Muhlis. dkk. 2011. Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Makassar. Unismuh Makassar. Makassar.
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik, Penerbit Andi. Yogyakarta.
Mulyadi. 2001. Balanced Scorecard, Salemba Empat.Yogyakarta.
Partanto, Pius A. & Al-Barry, M. Dahlan. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Arkola. Surabaya.
Srimindarti, Caecilia. 2004. Balanced Scorecard sebagai alternative untuk mengukur kinerja. Fokus Ekonomi, Vol.3, No.1, Hal.52-64.
Sugiyono.2004. Metode Penelitian Bisnis, CV Alvabeta. Bandung.
Sugono, Dendy. dkk. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Penerbit Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta.
Surjadi. 2009. Pengemmbangan Kinerja Pelayanan Publik. Refika Aditama. Bandung.
Tjiptono, Fandy. 2000. Prinsip-prinsip Total Quality Service, ANDI. Yogyakarta.

Website:
Annefahira. Akses website: http://www.anneahira.com/pengertian-pelayanan.htm, diakses pada tanggal 2 maret  2013
Mr. Doen. Akses website: http://www.docstoc.com/docs/80484691/Definisi-Rumah-Sakit, diakses pada tanggal 2 maret 2013
Sam, Arianto. Akses website: http://sobatbaru.blogspot.com/2010/05/definisi-sektor-public.html, diakses pada tanggal 2 maret 2013

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah menitipkan komentar
semoga informasi ini bermanfaat
Wassalam

 
Toggle Footer
Top