Formasi
Organisasi Masyarakat Sipil dalam Mendorong Akuntabilitas Pelayanan Publik
(Studi
Kasus LSM Pattiro Jeka di Kab. Jeneponto)
A.
Latar
Belakang Masalah
Salah satu sektor penting dalam
peningkatan kapasitas, kualitas serta kuantitas pemerintahan daerah adalah
terbentuknya suatu sistem organisasi pemerintahan yang memiliki akuntabilitas
pelayanan yang baik. Praktik akuntabilitas tersebut harus menjadi prioritas
utama dalam membangun. Sebagai contoh adalah, sistem pemerintahan memiliki
akuntabilitas terkait pelayanan publik yang baik.
Peningkatan kualitas pelayanan
publik merupakan salah satu agenda reformasi birokrasi, yang bertitik tolak
dari kenyataan buruk kondisi factual kualitas pelayanan publik yang sebagian
besar ditentukan oleh kualitas sikap dan karakter aparatur pemerintah yang
tidak terpuji, korup, dan tidak bertanggung jawab (Surjadi, 2009:1).
Dalam penyelenggaraan pelayanan
publik, orientasi pada kekuasaan yang amat kuat selama ini telah membuat
birokrasi menjadi semakin jauh dari misinya untuk memberikan pelayanan
publik. Birokrasi dan para pejabatnya lebih
menempatkan dirinya sebagai penguasa dari pada sebagai pelayanan masyarakat.
Akibatnya sikap dan perilaku birokrasi dalam penyelegaraan pelayanan publik
cenderung mengabaikan aspirasi dan kepentingan masyarakat. Berkembangnya budaya
paternalistik ikut memperburuk sistem pelayanan publik melalui penempatan
kepentingan elite politik dan birokrasi sebagai variabel yang dominan dalam
penyelengaraan pelayanan publik.
Elite
politik dan birokrasi, dan atau yang dekat dengan mereka, seringkali memperoleh
perlakuan istimewa dalam penyelenggaraan pelayanan publik. Akses terhadap
pelayanan dan kualitas pelayanan publik sering berbeda tergantung pada
kedekatannya dengan elite birokrasi dan politik. Hal seperti ini sering
mengusik rasa keadilan dalam masyarakat yang merasa diperlakukan secara tidak
wajaroleh birokrasi publik.
Meluasnya
praktik-praktik KKN (Kolusi, Korupsi dan Nepotisme)dalam kehidupan birokrasi
publik semakin mencoreng image masyarakat terhadap birokrasi
publik. KKN tidak hanya telah membuat pelayanan birokrasi menjadi amat sulit
dinikmati secara wajar oleh masyarakatnya, tetapi juga membuat masyarakat harus
membayar lebih mahal pelayanan yang diselenggarakan oleh swasta.
Rendahnya
kemampuan birokrasi merespon krisis ekonomi memperparah krisis kepercayaan
terhadap birokrasi publik. Dinamika ekonomi dan politik yang amat tinggi,
sebagai akibat dari krisis tersebut ternyata tidak dapat direspons dengan baik
oleh birokrasi publik sehingga membuat kehidupan masyarakat menjadi semakin
sulit dan tidak pasti. Inisiatif dan kreatifitas birokrasi dalam merespons
krisis dan dampaknya sama sekali tidak memadai. Masyarakat yang mengharapkan
birokrasi publik dapat memberi respons yang tepat dan cepat terhadap krisis
yang terjadi menjadi amat kecewa karena ternyata tindakan birokrasi cenderung
reaktif dan tidak efektif. Berbagai persoalan yang terjadi dipusat dan didaerah
tidak dapat diselesaikan dengan baik, bahkan cenderung dibiarkan sehingga
masyarakat menjadi semakin tidak percaya terhadap kemampuan birokrasi dalam
menyelesaikan krisis ini.
Berbagai
fenomena diatas menunjukkan betapa rapuhnya kepercayaan dan legitimasi
pemerintah dan birokrasinya dimata publik. Ini semua terjadi karena pemerintah
dan birokrasinya telah gagal menempatkan dirinya menjadi institusi yang bisa
melindungi dan memperjuangkan kebutuhan dan kepentingan publik. Praktik-praktik
KKN yang terjadi dalam kehidupan birokrasi telah membuat birokrasi menjadi
semakin jauh dari masyarakatnya. Orientasi kepada kekuasaan membuat
birokrasinya menjadi semakin tidak responsif dan tidak sensitif terhadap
kepentingan masyarakatnya. Dominasi birokrasi dalam kehidupan politik dan
ekonomi selama ini ternyata juga menciptakan berbagai distorsi dalam
penyelenggaraan pelayanan publik yang cenderung memperburuk krisis ekonomi dan
politik yang terjadi. Dalam situasi seperti ini, maka amat sulit mengharapkan
pemerintah dan birokrasinya mampu mewujudkan kinerja yang baik. Pemerintah dan
birokrasinya telah gagal menyelenggarakan pelayanan publik yang efisien,
responsif dan akuntabel.
Untuk
menghadapi persaingan bisnis yang sangat kompetatif, kinerja merupakan faktor
penting yang harus diperhatikan oleh suatu organisasi. Kinerja dalam suatu
periode tertentu dapat dijadikan acuan untuk mengukur tingkat keberhasilan
organisasi. Oleh karena itu, sistem kinerja yang sesuai dan cocok untuk
organisasi sangat diperlukan agar suatu organisasi mampu bersaing dan
berkembang.
Pengukuran
kinerja merupakan salah satu faktor yang sangat penting bagi sebuah organisasi.
Pengukuran tersebut antara lain dapat digunakan sebagai dasar menyusun sistem
imbalan atau sebagai dasar penyusun strategi organisasi atau perusahaan. Sistem
pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai alat pengendalian organisasi, karena
pengukuran kinerja dibuat dengan menetapkan reward dan punishment
system.
Sistem
pengukuran kinerja tradisional merupakan salah satu cara yang umumnya digunakan
oleh manajemen tradisional untuk mengukur kinerja. Pengukuran kinerja secara
tradisional lebih menekankan kepada aspek keuangan, karena lebih mudah
diterapkan sehingga tolok ukur kinerja personal diukur berkaitan dengan aspek
keuangan saja (Surya Dharma, 2010:78-83). Sistem ini lazim dilakukan dan
mempunyai beberapa kelebihan, akan tetapi karena hanya menitikberatkan pada
aspek keuangan tentunya menimbulkan adanya kelemahan. Pengukuran kinerja
berdasar aspek keuangan dianggap tidak mampu menginformasikan upaya-upaya apa
yang harus diambil dalam jangka panjang, untuk meningkatkan kinerja organisasi.
Disamping itu, sistem pengukuran kinerja ini dianggap tidak mampu mengukur
asset tidak berwujud yang dimiliki organisasi seperti sumber daya manusia,
kepuasan pelanggan, dan kesetiaan pelanggan.
Dalam
hal ini, Untuk meningkatkan kinerja organisasi, maka diperlukan suatu sistem
berbasis kinerja. Kinerja yang baik harus mempunyai sistem pengukuran kinerja
yang andal dan berkualitas, sehingga diperlukan penggunaan ukuran kinerja yang
tidak hanya mengandalkan aspek keuangan saja tetapi juga memperhatikan
aspek-aspek non-keuangan.
Terkait
dengan pelayanan publik pada pemerintah daerah Kabupaten Jeneponto sangat
menarik untuk dikaji secara biroksari, terutama yang terkait dengan
akuntabilitas pelayanan publik. Secara konseptual, LSM Pattiro Jeka sangat membantu pemerintah daerah dalam hal
pelayanan publik, namun kenyataannya di lapangan masih diragukan akuntabilitas
pelayanan publik di Kabupaten Jeneponto. Lahirnya lembaga swadaya masyarakat
(LSM) Pattiro Jeka di Kabupaten Jeneponto sangat membatu dalam rencana
penelitian ini. Hal tersebut berangkat dari tugas dan fungsi LSM tersebut
sebagai Organisasi Masyarakat yang mendorong terbentuknya akuntabilitas
pelayanan publik di Kabupaten Jeneponto. Dengan Latar belakang di atas, maka
penulis tertarik untuk membahas mengenai ”Formasi Organisasi Masyarakat
Sipil dalam Mendorong Akuntabilitas Pelayanan Publik (Study Kasus LSM Pattiro
Jeka di Kabupaten Jeneponto)”.
B.
RUMUSAN MASALAH
Adapun
Permasalahn yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1.
Bagaimana
Formasi LSM PATTIRO JEKA dalam mendorong Akuntabilitas Pelayanan Publik
Pemerintah Daerah Kabupaten Jeneponto?
2.
Bagaimana
kinerja LSM Pattiro Jeka dalam mendorong akuntabilitas Pelayanan Publik di
Kabupaten Jeneponto?
C.
TUJUAN DAN
KEGUNAAN PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Sesuai
dengan masalah yang telah diidentifikasi, maka penelitian ini dilaksanakan
dengan tujuan:
a. Untuk mengetahui Formasi LSM PATTIRO JEKA dalam mendorong
Akuntabilitas Pelayanan Publik Pemerintah Daerah Kabupaten Jeneponto.
b. Untuk mengetahui Faktor-Faktor penghambat dan pendukung
Akuntabilitas Pelayanan Publik pada Pemerintah Daerah Kabupaten Jeneponto
c. Untuk mengetahui kinerja LSM Pattiro Jeka dalam mendorong
akuntabilitas Pelayanan Publik di Kabupaten Jeneponto.
2. Kegunaan Penelitian
Penelitian
yang dilaksanakan, diharapkan memberikan kegunaan sebagai berikut:
a. Kegunaan Akademik:
Penelitian ini bermanfaat untuk
menambah wawasan dan pengetahuan mengenai penilaian Akuntabilitas Pelayanan
Umum Pemerintah Daerah Kabupaten Jeneponto.
b. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
membantu Pemerintah Daerah Kabupaten Jeneponto dalam melakukan pengukuran
kinerja (akuntabilitas pelayanan publik) yang mampu mencerminkan seluruh aspek
dalam melaksanakan tugas dan fungsi di bidang kesehatan, dan diharapkan dapat
mengaktualisasikan hal-hal yang berkenaan dengan pelayanan yang berkualitas,
pelayanan yang respontif, pelayanan yang akuntabel, pelayanan yang berorientasi
kepada pelanggan dan pelayanan yang efisien.
II.
KAJIAN PUSTAKA
A. Konsep Lembaga Swadaya Masyarakat
Lembaga swadaya masyarakat (disingkat LSM)
adalah sebuah organisasi yang di dirikan oleh perorangan ataupun sekelompok orang yang secara sukarela yang
memberikan pelayanan kepada masyarakat umum tanpa bertujuan untuk memperoleh keuntungan dari
kegiatannya.
Organisasi ini dalam terjemahan harfiahnya dari Bahasa Inggris dikenal juga
sebagai Organisasi non pemerintah (disingkat ornop atau ONP (Bahasa
Inggris: non-governmental organization;
NGO).[1]
Organisasi tersebut bukan menjadi bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara. Maka secara garis besar organisasi non pemerintah dapat
di lihat dengan ciri sbb :
1.
Organisasi ini
bukan bagian dari pemerintah, birokrasi ataupun negara
- Dalam melakukan kegiatan tidak bertujuan untuk memperoleh keuntungan (nirlaba)
- Kegiatan dilakukan untuk kepentingan masyarakat umum, tidak hanya untuk kepentingan para anggota seperti yang di lakukan koperasi ataupun organisasi profesi
Berdasarkan
Undang-undang No.16 tahun 2001 tentang Yayasan, maka secara umum organisasi non pemerintah di indonesia
berbentuk yayasan.
1. Penilaian Kinerja Lembaga
Swadaya Masyarakat
Pada kenyataannya akuntabilitas dapat dibedakan karena faktor lingkungan
yang mempengaruhi sikap dan watak kehidupan manusia, sehingga dalam hal ini
akuntabilitas dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu akuntabilitas internal
dan akuntabilitas eksternal. Adapun yang
dimaksud dengan akuntabilitas internal adalah akuntabilitas yang mencerminkan
pertanggungjawaban seseorang terhadap Tuhannya. Sedangkan akuntabilitas
eksternal adalah pertanggungjawaban seseorang kepada lingkungannya, baik
lingkungan formal maupun lingkungan masyarakat. Dengan demikian keberadaan LSM
sebagai suatu organisasi yang mempunyai unsur manusia sebagai pengelola dan
masyarakat sebagai penerima produk LSM, perlu memiliki kemampuan dalam mengukur
akuntabilitas internal maupun eksternal. Sehubungan dengan konsep akuntabilitas
eksternal, maka terdapat empat jenis akuntabilitas yang perlu dicermati dengan
baik oleh LSM:
1.
Regularity
Accountability, atau disebut juga Compliance Accountability merupakan
akuntabilitas yang berhubungan dengan kepatuhan terhadap peraturan-perundangan
yang berlaku, terutama peraturan keuangan dan peraturan pelaksanaan lainnya
yang bersifat administratif.
2.
Managerial
Accountability, merupakan akuntabilitas yang berhubungan dengan ruang lingkup
pertanggungjawaban pengelola sesuai dengan peran yang dilakukannya dalam
pemanfaatan semua sumber daya secara efektif dan efisien serta pelaksanaan
proses manajerial dalam suatu LSM.
3.
Program
Accountability, merupakan akuntabilitas yang berhubungan dengan
pertanggungjawaban dalam hal pencapaian akhir dalam suatu program kegiatan LSM.
4.
Process
Accountability, merupakan akuntabilitas yang menitikberatkan pada
pertanggungjawaban tingkat pencapaian kesejahteraan sosial atas pelaksanaan
kebijakan dan aktivitas-aktivitas organisasi.
Dalam kerangka
ketatanegaraan, keberadaan LSM dapat dihubungkan dengan akuntabilitas yang
secara umum dapat dibedakan ke dalam tiga jenis akuntabilitas, yaitu:
1.
Democratic
Accountability, akuntabilitas yang berkaitan dengan pertanggungjawaban LSM
terhadap seluruh lapisan masyarakat yang kepentingannya difokuskan oleh LSM
yang bersangkutan;
2.
Professional
Accountability, berkaitan dengan pertanggungjawaban para professional dalam
melaksanakan tugas profesinya di LSM yang dilandasi dengan norma-norma dan
etika profesi;
3.
Legal
Accountability, pertanggungjawaban atas ketaatan terhadap peraturan perundangan
yang berlaku dalam setiap proses pelaksanaan fungsi LSM dalam mencari
alternatif pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat.
Secara umum keberadaan
setiap organisasi cenderung untuk melakukan pengukuran kinerja yang diharapkan
untuk menjawab akuntabilitas organisasinya. Pada kenyataannya paling tidak
terdapat lima aspek yang sangat umum untuk mengetahui kinerja dari suatu
organisasi, yaitu:
a.
Aspek Finansial
Dalam aspek finansial perlu
ditelaah lebih mendalam mengenai alur masuk dan alur keluar setiap anggaran
yang diperoleh dari berbagai sumber dana. Sehubungan dengan aspek finansial
ini, kiranya dapat dianalogikan sebagai satu aliran darah dalam tubuh manusia,
sehingga aspek finansial merupakan aspek penting yang perlu diperhatikan dalam
pengukuran kinerja organisasi.
b.
Operasi Kegiatan
Internal
Informasi operasi kegiatan
internal sangat diperlukan untuk memastikan bahwa seluruh kegiatan LSM sudah
in-concert (seirama) untuk mencapai tujuan dan sasaran organisasi seperti yang
tercantum dalam rencana strategis. Di samping itu, informasi operasi kegiatan
internal diperlukan untuk melakukan perbaikan terus-menerus atas efisiensi dan
efektivitas operasi organisasi.
a.
Kepuasan Staf
Secara empiris dalam setiap organisasi, keberadaan
staf merupakan aset yang harus dikelola dengan baik. Apalagi dalam LSM yang
banyak melakukan kegiatan yang sangat signifikan seperti halnya dalam
penanganan isu nasional, peran strategis staf sungguh sangat penting. Apabila
staf tidak diberdayakan dengan baik, maka kegagalan misi dari LSM yang
bersangkutan sangat mungkin dapat terjadi dengan mudah.
b.
Kepuasan
Komunitas dan Shareholders/Stakeholders
LSM tidak beroperasi “in
vacuum”, artinya seluruh kegiatan LSM selalu berinteraksi dengan berbagai pihak
yang menaruh kepentingan terhadap keberadaannya. Hal ini mengandung pengertian,
bahwa interaksi yang terjadi tidak terbatas kepada interaksi dengan masyarakat,
tetapi juga dengan sesama LSM maupun lembaga pemerintah. Dengan demikian
informasi dari pengukuran kinerja perlu didesain untuk dapat dengan mudah
mengakomodasi semua kepuasan dari shareholders/stakeholders.
c.
Waktu
Dimensi waktu merupakan
variable yang akan perlu diperhatikan dalam desain pengukuran kinerja.
Berdasarkan pengalaman berbagai organisasi pada kenyataannya sangat membutuhkan
informasi untuk pengambilan keputusan, namun informasi tersebut sangat lambat
diterima atau informasi yang ada sering sudah tidak relevan dengan aspek yang
ditangani.
Peningkatan Kinerja
Sebagai suatu organisasi
non-pemerintah, LSM yang telah memiliki visi, misi, tujuan dan sasaran, harus
menjalankan strategi untuk mencapainya. Dalam hubungan ini LSM sangat
membutuhkan syarat pokok berupa kemampuan untuk membangun identitas dan
kredibilitas di lingkungannya, baik masyarakat maupun pemerintah.
Kedua, hal ini merupakan
modal dasar setiap LSM yang akan berpengaruh terhadap kinerja dan berbagai
pemikiran yang dilontarkan ke lingkungannya. Dengan demikian LSM perlu
membenahi dirinya lebih terfokus, terjangkau dan terbuka dalam setiap
kegiatannya. Berdasarkan pemikiran tersebut di atas, maka secara sistematik LSM
perlu mengambil beberapa langkah untuk meningkatkan kinerjanya sesuai dengan
prinsip akuntabilitas dan transparansi:
1.
LSM perlu
mengubah strategi dari kebiasaan hanya menyampaikan isu menjadi LSM dengan pola
kerja yang menekankan pada pemberian alternatif pemecahan masalah, baik dalam
bentuk formal maupun informal;
2. LSM perlu menetapkan beberapa isu penting yang akan
dikerjakan secara konsisten dengan mendasarkan kepada ketepatan konsep yang
kontekstual;
3. LSM harus mampu membangun dan memperluas jaringan
komunikasi dengan berbagai pihak baik sesama LSM maupun lembaga pemerintah;L
4. SM dinilai perlu untuk mengembangkan berbagai upaya
yang berakibat keberadaannya dapat terjangkau oleh komunitas lokal dan akar
rumput.
5.
LSM perlu
menegaskan identitasnya dengan memajukan prinsip-prinsip dasar manajemen dan
sekaligus menunjukkan pada masyarakat metode kerjanya.
Dalam menghadapi berbagai
masalah dan tantangan nasional yang semakin banyak dan cenderung sangat
kompleks, maka keberadaan LSM harus dikaji ulang oleh dirinya dan juga oleh masyarakat
dengan menekankan kepada aspek kemampuan yang dimilikinya. Dengan demikian
perlu dilakukan perubahan yang sangat mendasar dengan cakupan orientasi
organisasi, peningkatan pengetahuan dan pengalaman, di samping upaya pembinaan
kemampuan untuk bekerja sama dengan institusi yang berbeda dan media massa.
Dari perubahan yang dilakukan tersebut diharapkan adanya kemampuan peningkatan
akuntabilitas LSM yang mencerminkan pertanggungjawaban kepadastakeholders
sebagai upaya perwujudan budaya transparansi.
B. Konsep Akuntabilitas
Akuntabilitas adalah
sebuah konsep etika yang dekat dengan administrasi publik pemerintahan (lembaga
eksekutif pemerintah,
lembaga legislatif parlemen dan lembaga yudikatif Kehakiman)
yang mempunyai beberapa arti antara lain, hal ini sering digunakan secara
sinonim dengan konsep-konsep seperti yang dapat dipertanggungjawabkan
(responsibility),[1]yang
dapat dipertanyakan (answerability), yang dapat dipersalahkan (blameworthiness)
dan yang mempunyai ketidakbebasan (liability) termasuk istilah lain yang
mempunyai keterkaitan dengan harapan dapat menerangkannya salah satu aspek dari
administrasi publik atau pemerintahan, hal ini sebenarnya telah menjadi
pusat-pusat diskusi yang terkait dengan tingkat problembilitas di sektor
publik, perusahaan nirlaba, yayasan dan perusahaan-perusahaan.
Dalam peran
kepemimpinan, akuntabilitas dapat merupakan pengetahuan dan adanya
pertanggungjawaban tehadap tiap tindakan, produk, keputusan dan kebijakan
termasuk pula di dalamnya administrasi publik pemerintahan, dan pelaksanaan
dalam lingkup peran atau posisi kerja yang mencakup di dalam mempunyai suatu
kewajiban untuk melaporkan, menjelaskan dan dapat dipertanyakan bagi tiap-tiap
konsekuensi yang sudah dihasilkan.
akuntabilitas
merupakan istilah yang terkait dengan tata kelola pemerintahan sebenarnya agak
terlalu luas untuk dapat didefinisikan. [2][3]akan
tetapi hal ini sering dapat digambarkan sebagai hubungan antara yang menyangkut
saat sekarang ataupun masa depan, antar individu, kelompok sebagai sebuah
pertanggungjawaban kepentingan merupakan sebuah kewajiban untuk memberitahukan,
menjelaskan terhadap tiap-tiap tindakan dan keputusannya agar dapat disetujui
maupun ditolak atau dapat diberikan hukuman bilamana diketemukan adanya
penyalahgunaan kewenangan.[2]
Aturan dan norma internal serta beberapa komisi independen
adalah mekanisme untuk menampung birokrasi dalam tanggung jawab administrasi
pemerintah. Dalam kementerian atau pelayanan, pertama, perilaku dibatasi oleh
aturan dan peraturan; kedua, pegawai negeri dalam hierarki bawahan bertanggung
jawab kepada atasan. Dengan diikuti adanya unit pengawas independen guna
memeriksa dan mempertanggung jawabkan, legitimasi komisi ini dibangun di atas
kemerdekaan mereka agar dapat terhindar dari konflik kepentingan apapun. Selain
dari pemeriksaan internal, terdapat pula beberapa unit pengawas yang bertugas
untuk menerima keluhan dari masyarakat sebagai akuntabilitas kepada warga
negara.
C. Konsep Kinerja Pelayanan Publik
1. Defenisi Kinerja
Menurut
Helfert (Srimindarti, 2004: 53) Kinerja perusahaan adalah suatu tampilan
keadaan secara utuh atas perusahaan selama periode waktu tertentu, merupakan
hasil atau prestasi yang dipengaruhi oleh kegiatan operasional perusahaan dalam
memanfaatkan sumber daya-sumber daya yang dimiliki. Kinerja merupakan suatu
istilah secara umum yang digunakan untuk sebagian atau seluruh tindakan atau
aktivitas dari suatu organisasi pada suatu periode dengan referensi pada
sejumlah standar seperti biaya-biaya masa lalu atau yang diproyeksikan, dengan
dasar efisiensi, pertanggungjawaban atau akuntabilitas manajemen dan semacamnya
(Srimindarti, 2004).
Jadi
pengukuran kinerja merupakan suatu proses penilaian kegiatan operasional
perusahaan berupa tindakan dan aktivitas suatu organisasi pada periode tertentu
sesuai tujuan yang telah ditetapkan. Dengan kata lain, pengukuran kinerja adalah
penilaian tingkat efektifitas dan efisiensi dari aktivitas organisasi.
2. Penilaian Kinerja
Tujuan
utama dari penilaian kinerja adalah untuk memotivasi personal dalam mencapai
sasaran organisasi dan dalam memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya,
sehingga membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan oleh organisasi
(Mulyadi, 2001: 416).Penilaian kinerja dapatdigunakan sebagai media untuk
menekan perilaku yang tidak semestinya dan merangsang serta menegakkan perilaku
yang semestinya, melalui umpan balik yang dihasilkan kinerja pada waktunya
serta pemberian penghargaan, baik yang bersifat intrinsik maupun ekstrinsik.
Penilaian
kinerja dapat digunakan oleh seorang manajer untuk memperoleh dasar yang
obyektif dalam memberikan kompensasi sesuai dengan prestasi yang dilakukan
masing-masing pusat pertanggungjawaban kepada perusahaan secara keseluruhan.
Semua ini diharapkan agar dapat memberi motivasi dan rangsangan pada
masing-masing bagian untuk bekerja lebih efektif dan efisien.
Menurut
Mulyadi (2001: 420), Penilaian kinerja dilaksanakan dalam dua tahap utama
yaitu:
a. Tahap persiapan, terdiri dari tiga tahap rinci:
1) Penentuan daerah pertanggungjawaban dan manajer yang
bertanggungjawab.
2) Penetapan kriteria yang dipakai untuk mengukur kinerja.
3) Pengukuran kinerja sesungguhnya.
b. Tahap penilaian terdiri dari tiga tahap rinci:
1)
Pembandingan
kinerja sesungguhnya dengan sasaran yang telah ditetapkan sebelumnya.
2)
Penentuan
penyebab timbulnya penyimpangan kinerja sesungguhnya dari yang ditetapkan dalam
standar.
.
Menurut
Hansen dan Mowen (2009), Ukuran kinerja diturunkan dari visi, strategi, dan
tujuan perusahan. Ukuran-ukuran tersebut harus diseimbangkan dengan ukuran lain
yaitu:
a. Ukuran Lag, berupa ukuran hasil dari usaha masa lalu.
b. Ukuran Lead, berupa faktor yang menggerakkan kinerja masa
depan.
c. Ukuran Objektif, ukuran yang bisa langsung dihitung dan
diverifikasi.
d. Ukuran Subjektif, berupa ukuran yang lebih bersifat
praduga.
e. Ukuran Keuangan, ukuran yang dinyatakan dalam istilah
moneter.
f.
Ukuran
Nonkeuangan, ukuran yang dinyatakan menggunakan unit-unit nonmoneter.
g. Ukuran Eksternal, berkaitan dengan pelanggan dan pemegang
saham.
h. Ukuran Internal, berkaitan dengan proses dan kemampuan
menciptakan nilai bagi pelanggan.
Pengukuran kinerja yang efektif
setidaknya harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut (Yuwono, dkk: 2003):
a. Didasarkan pada masing masing aktivitas dan karakteristik
organisasi itu sendiri sesuai dengan perspektif pelanggan.
b. Evaluasi atas berbagai aktivitas, menggunakan
ukuran-ukuran kinerja yang customer-validated.
c. Sesuai dengan seluruh aspek kinerja aktivitas yang
mempengaruhi pelanggan.
d. Memberikan umpan balik untuk membantu masalah-masalah
yang ada kemungkinan perbaikan.
3. Penilaian Kinerja Organisasi Sektor Publik
Konsep
pengukuran kinerja pada organisasi sektor publik adalah bertujuan untuk
membantu manajer publik menilai pencapaian suatu strategi melalui alat ukur
finansial dan non finansial. Pengukuran kinerja sektor publik dilakukanuntuk
memperbaiki kinerja pemerintah, pengalokasian sumber daya dan pembuatan
keputusan, dan mewujudkan pertanggungjawaban publik serta memperbaiki
komunikasi pelanggan.
4. Tujuan Penilaian Kinerja Sektor Publik
Tujuan
pengukuran kinerja sektor publik menurut Mardiasmo (2002: 122) adalah:
a.
Mengkomunikasikan
strategi secara lebih mantap.
b.
Mengukur
kinerja finansial dan non-finansial secara berimbang sehingga dapat ditelusuri
perkembangan pencapaian strategi.
c.
Mengakomodasi
pemahaman kepentingan manajer level menengah dan bawah serta memotivasi untuk
mencapai goal congruence.
d.
Alat untuk
mencapai kepuasan berdasarkan pendekatan individual dan kemampuan kolektif
rasional.
5. Manfaat Penilaian Kinerja Sektor Publik
Manfaat
pengukuran kinerja sektor publik menurut Lynch dan Cross (dalam Yuwono, 2002)
adalah:
a.
Menelusuri
kinerja terhadap harapan pelanggan sehingga akan membawa perusahaan lebih dekat
kepada pelanggannya dan membuat seluruh orang dalam organisasi terlibat dalam
upaya memberi kepuasan kepada pelanggan.
b.
Memotivasi
pegawai untuk melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata rantai pelanggan dan
pemasok internal.
c.
Mengidentifikasi
berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya pengurangan terhadap
pemborosan tersebut (reduction of waste).
d.
Membuat suatu
tujuan strategis yang biasanya masih kabur menjadi lebih konkrit sehingga mempercepat
proses pembelajaran.
e.
Membangun
konsensus untuk melakukan suatu perubahan dengan memberi reward atas perilaku
tersebut.
1.
Defenisi
Pelayanan
Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang terjadi dalam
interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin secara fisik,
dan menyediakan kepuasan pelanggan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008:
646) dijelaskan pelayanan sebagai usaha melayani kebutuhan orang lain.
Sedangkan melayani adalah membantu menyiapkan (mengurus) apa yang diperlukan
seseorang. Kep. MenPan. No.81/93 menyatakan bahwa pelayanan umum adalah segala
bentuk pelayanan yang diberikan oleh pemerintah pusat daerah, BUMN/ BUMD, dalam
rangkan pemenuhan kebutuhan masyarakat, dan atau peraturan perundang-undangan
yang berlaku (Inu Kencana Syafiie, 2011: 75).
Servis
berasal dari orang-orang bukan dari perusahaan. Tanpa memberi nilai pada diri
sendiri, tidak akan mempunyai arti apa-apa. Demikian halnya pada organisasi
atau perusahaan yang secara essensial merupakan kumpulan orang-orang. Oleh
karena itu, harga diri yang tinggi adalah unsur yang paling mendasar bagi
keberhasilan organisasi yang menyediakan jasa pelayanan yang berkualitas.
Tjiptono
(1991:61) menyimpulkan bahwa citra kualitas pelayanan yang baik bukanlah berdasarkan
sudut pandang/ persepsi penyedia jasa, melainkan berdasarkan sudut pandang/
persepsi konsumen. Hal ini disebabkan karena konsumenlah yang mengkonsumsi
serta yang menikmati jasa layanan, sehingga merekalah yang seharusnya
menentukan kualitas jasa. Persepsi konsumen terhadap kualitas jasa merupakan
penilaian yang menyeluruh terhadap keunggulan suatu jasa layanan.
Bagi
pelanggan kualitas pelayanan adalah menyesuaikan diri dengan spesifikasi yang
dituntut pelanggan. Pelanggan memutuskan bagaimana kualitas yang dimaksud dan
yang dianggap penting. Pelanggan mempertimbangkan suatu kualitas pelayanan.
Untuk itu, kualitas dapat dideteksi pada persoalan bentuk, sehingga dapat
ditemukan:
a.
Kualitas
pelayanan merupakan bentuk dari sebuah janji
b.
Kualitas adalah
tercapainya sebuah harapan dan kenyataan sesuai komitmen yang telah ditetapkan
sebelumnya.
c.
Kualitas dan
integritas merupakan sesuatu yang tak terpisahkan.
Peningkatan
Kualitas Pelayanan Publik merupakan salah satu agenda reformasi birokrasi, yang
bertolak dari kenyataan buruk kondisi faktual kualitas pelayanan publik yang sebagian besar
ditentukan oleh kualitas sikap dan karakter aparatur pemerintah yang terpuji,
korup, dan tidak bertanggung jawab.
Penyelenggaraan
pelayanan publik merupakan upaya negara untuk memenuhi kebutuhan dasar dan
hak-hak sipil setiap warga negara atas barang, jasa, dan pelayanan administrasi
yang disediakan oleh penyelenggara pelayanan publik. Undang-Undang Dasar 1945
mengamantakan kepada negara untuk memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara
demi kesejahteraannya, sehingga efektifitas suatu sistem pemerintahan sangat
ditentukan oleh baik buruknya penyelenggaraan pelayanan publik. Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 pun secara tegas menyatakan bahwa salah satu tujuan
didirikan Negara Republik Indonesia
adalah untuk memajukan kesejahteraan publik dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
2.
Manajemen
Pelayanan
Ketika
pelanggan mempunyai urusan/ keperluan pada sebuah organisasi, baik organisasi
pemerintah maupun swasta, ia akan merasa senang atau tidak senang saat dilayani
oleh petugas. Jika pelanggan merasa senang dilayani oleh petugas tersebut, maka
pelayanan petugas sangat memuaskan atau pelayanan petugas berkualitas.
Sebaliknya, ketika pelanggan merass dirugikan aparat akibat pelayanannya berbelit-belit,
tidak terbuka/transparan tentang apa yang diinginkan oleh aparat itu, maka
dapat dikatakan pelayanannya tidak berkualitas.
Suatu
pertanyaan yang perlu mendapatkan jawaban ialah mengapa pelanggan tidak
mendapatkan pelayanan seperti yang diharapkan? Apakah semua persyaratan tela
dilengkapi? Jika semua persyaratan telah dilengkapi tetapi pelanggan tidak
mendapatkan pelayanan yang memuaskan, maka dapat disimpulkan bahwa kemungkinan
terdapat sesuatu yang belum terbaca atau belum terdapat dalam suatu memorandum
of understanding antara pelayan di suatu pihak dan pelanggan yang sedang
dalam proses pelayanan di lain pihak. Untuk mendapatkan jawaban kepastian
kualitas pelayanan, diperlukan kesepahaman tentang aturan main pelayanan yang
diberikan, baik dari sisi aparatur pelayan maupun pelanggan.
Kualitas
pelayanan adalah pelayanan yang diberikan kepada pelanggan sesuai dengan
standar pelayanan yang telah dibakukan sebagai pedoman dalam pemberian layanan.
Standar pelayanan adalh ukuran yang telah ditentukan sebagai suatu pembakuan
pelayanan yang baik.
Gaspersz
(1997) menyatakan secara singkat beberapa langkah yang diperlukan untuk
menjadikan sistem kualitas modern menjadi lebih efektif, antara lain:
a. Mendefenisikan dan merinci sasaran dan kebijaksanaan
kualitas
b. Berorientasi pada kepuasan pelanggan
c. Mengarahkan aktifitas-aktifitas itu dalam organisasi
d. Memberikan penjelasan maupu tugas-tugas kepada pekerja
untuk bersikap mementingkan kualitas barang dan jasa yang dihasilkan untuk
menyukseskan program pengendalian kualitas terpadu.
e. Merinci aktifitas pengendalian kualitas pada penjualan
produk.
f.
Mengidentifikasikan
kualitas peralatan secara cermat.
g. Mengidentifikasikan dan mengefektifkan aliran informasi
kualitas, memprosesnya untuk mengendalikannya.
h. Melakukan pelatihan (training) serta memotivasi karyawan
untuk terus bekerja dengan orientasi meningkatkan kualitas.
i.
Melakukan
pengendalian terhadap ongkos kualitas dan pengukuran lainnya serta menerapkan
standar kualitas yang diinginkan
j.
Mengefektifkan
tindakan koreksi yang bersifat positif
k. Melanjutkan sistem pengendalian, mencakup langkah
selanjutnya dan menerima informasi umpan balik, melakukan analisis hasil, serta
membandingkan dengan standar kualitas yang telah ditetapkan.
l.
Memeriksa
aktifitas dari sistem kualitas modern secara periodik.
3. Sektor Publik
1. Defenisi Sektor Publik
Istilah
sektor publik memiliki pengertian yang bermacam-macam. Hal tersebut merupakan
konsekuensi dari luasnya wilayah publik, sehingga setiap disiplin ilmu memiliki
cara pandang dan definisi yang berbeda-beda. Dari sudut pandang ilmu ekonomi,
sektor publik dapat dipahami sebagai suatu entitas yang aktivitasnya
berhubungan dengan usaha untuk menghasilkan barang dan pelayanan publik dalam
rangka memenuhi kebutuhan dan hak publik (Mardiasmo, 2004:2).
Domain
publik memiliki wilayah yang lebih luas dan kompleks dibandingkan dengan sektor
swasta. Keluasan wilayah publik ini tidak hanya disebabkan luasnya jenis dan
bentuk organisasi yang berada didalamnya, akan tetapi juga karena kompleksnya
lingkungan yang mempengaruhi lembaga-lembaga publik tersebut. Secara
kelembagaan, domain publik antara lain meliputi badan-badan pemerintahan
(pemerintah pusat dan daerah serta unit kerja pemerintah), perusahaan milik
negara (BUMN dan BUMD), yayasan, organisasi politik dan organisasi massa,
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), universitas dan organisasi nirlaba lainnya.
Jika dilihat dari variabel lingkungan, sektor publik dipengaruhi oleh banyak
faktor tidak hanya faktor ekonomi semata, akan tetapi faktor politik, sosial,
budaya, dan historis juga memiliki pengaruh yang signifikan. Sektor publik
tidak seragam dan sangat heterogen (Mardiasmo, 2004:1). Dalam penelitian ini,
sektor publik yang menjadi obyek penelitian peneliti adalah BUMN dan BUMD.
Sifat
lembaga pemerintahan berbeda dengan sektor swasta. Berikut adalah sifat khas
lembaga pemerintahan menurut Edward S. Lyn yang dikemukakan oleh Baswir
(2000:9), yaitu:
a.
Keinginan
mengejar laba tidak inklusif didalam usaha dan kegiatannya.
b.
Tidak dimiliki
secara pribadi akan tetapi secara kolektif oleh seluruh warga negara, dan
pemilikan ini tidak dibuktikan oleh adanya pemilikan saham yang dapat
diperjualbelikan atau diperdagangkan.
c.
Sumbangan
masyarakat terhadap pemerintah, seperti pajak, tidak ada hubungannya secara
langsung dengan jasa yang diterima masyarakat dari pemerinta, demikian pula
sebaliknya.
Bastian (2003:60) mengatakan bahwa dari sisi kebijakan
publik, sektor publik dipahami sebagai tuntutan pajak, birokrasi yang
berlebihan, pemerintahan yang besar dan nasionalisasi versus privatisasi. Dalam
arti luas, sektor publik disebut bidang yang membicarakan metoda manajemen
negara, sedangkan dalam arti sempit, diartikan sebagai pembahasan pajak dan
kebijakan pajak.
2.
Perbedaan dan
persamaan sektor publik dan sektor swasta
Mardiasmo (2004:13) mengungkapkan bahwa meskipun
sektor publik memiliki sifat dan karakteristik yang berbeda dengan sektor
swasta, akan tetapi dalam beberapa hal terdapat persamaan, yaitu:
a.
Kedua sektor
merupakan bagian integral dari sistem ekonomi di suatu negara dan keduanya
menggunakan sumber daya yang sama untuk mencapai tujuan organisasi.
b.
Keduanya
menghadapi masalah yang sama, yaitu masalah kelangkaan sumber daya (scarcity of
resources), sehingga baik sektor publik maupun sektor swasta dituntut untuk
menggunakan sumber daya organisasi secara ekonomis, efisien, dan efektif.
c.
Proses
pengendalian manajemen termasuk manajemen keuangan, pada dasarnya sama di kedua
sektor. Keduanya sama-sama membutuhkan informasi yang handal dan relevan untuk
melaksanakan fungsi manajemen, yaitu: perencanaan, pengorganisasian, dan
pengendalian.
d.
Pada beberapa
hal, kedua sektor menghasilkan produk yang sama, misalnya: baik pemerintah
maupun swasta sama-sama bergerak dibidang transportasi massa, pendidikan,
kesehatan, penyediaan energi, dan sebagainya.
e.
Kedua sektor
terikat pada peraturan perundangan dan ketentuan hukum lain yang disyaratkan.
3.
Audit sektor
publik
Audit sektor publik berbeda dengan audit pada sektor
bisnis atau audit sektor swasta. Audit sektor publik dilakukan pada organisasi
pemerintahan yang bersifat nirlaba seperti sektor pemerintahan daerah (pemda),
BUMN, BUMD dan instansi lain yang berkaitan dengan pengelolaan aset kekayaan
negara. Mekanisme audit dapat menggerakkan makna akuntabilitas di dalam
pengelolaan sektor pemerintahan, BUMN atau instansi pengelola aset negara
lainnya.
Berikut adalah beberapa hal yang mendasari kebutuhan
akan proses auditing pada sektor publik yang disampaikan oleh Bastian (2003:4),
yaitu:
a.
Kendali saat ini
ada ditangan masyarakat. Masyarakat memiliki hak yang bebas untuk mengakses
informasi mengenai pengelolaan sumber daya publik.
b.
Kompleksitas
laporan keuangan. Semakin kompleks laporan keuangan yang dihasilkan tingkat
kesalahan semakin tinggi pula.
c.
Pihak manajemen
Pemda memiliki kecenderungan ingin sukses dan meminimalisir kesalahan
pemerintahannya, sehingga perlu diverifikasi kebenarannya dari laporan keuangan
yang disajikan oleh mereka.
d.
Kontrol dan
kredibilitas. Pemeriksaan akan informasi keuangan penting untuk menghindari
adanya kesalahan penyajian dan pengungkapan.
e.
Kepatuhan
terhadap hukum dan peraturan. Proses audit akan memberikan nilai tambah bagi
pemenuhan kepatuhan terhadap hukum dan peraturan.
f.
Identifikasi
terhadap kelemahan system.
Nichols seperti yang dikutip oleh Mardiasmo (2004:23)
mengatakan bahwa perusahaan publik tidak luput dari tudingan sebagai sarang
korupsi, kolusi, nepotisme, inefisiensi, dan sumber pemborosan negara.
Rendahnya kinerja perusahaan publik diperkuat dengan bukti ambruknya sektor
bisnis pemerintah di banyak negara sehingga menimbulkan pertanyaan publik
mengenai kemampuan pemerintah dalam menjalankan perusahaan publik secara
ekonomis dan efisien.
Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik Daerah
di Indonesia juga masih banyak yang tidak dijalankan secara efisien. Inefisien
yang dialami oleh BUMN dan BUMD tersebut antara lain disebabkan adanya
intervensi politik, sentralisasi, rent seeking behaviour, dan manajemen yang
buruk.
4.
Tipe-tipe audit
sektor publik
Audit sektor publik adalah jasa penyelidikan bagi
masyarakat atas organisasi publik dan politikus yang sudah mereka bayar.
Menurut Bastian (2003:52), audit sektor publik terdiri atas tiga tipe, yaitu:
a.
Audit Keuangan
(Financial Audit)
b.
Audit Kinerja
(Performance Audit) yang terdiri atas Audit Ekonomi dan Efisiensi, dan Audit Program.
c.
Audit Investigasi
(Special Audit)
5.
Manajemen
audit sektor publik
Sektor publik sering dinilai sebagai sarang
inefisiensi, pemborosan, sumber kebocoran dana, dan institusi yang selalu
merugi. Tuntutan baru muncul agar sektor publik memperhatikan pengelolaan
organisasi yang mendasarkan pada konsep ekonomisasi, efisiensi dan efektivitas.
Di tengah berbagai kritik bahwa keberadaan sektor
publik tidak efisien dan jauh tertinggal dengan kemajuan dan perkembangan yang
terjadi di sektor swasta, lembaga sektor publik masih memiliki kesempatan yang
luas untuk memperbaiki kinerjanya dan memanfaatkan sumberdaya secara ekonomis,
efisien, dan efektif. Istilah “akuntabilitas publik, value for money, reformasi
sektor publik, privatisasi, good public governance,” telah begitu cepat masuk
kedalam kamus sektor publik (Mardiasmo, 2004:17). Bahkan istilah pemeriksaan
khusus terhadap kasus-kasus yang diperkirakan mengandung unsur penyimpangan
yang merugikan Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara
dan Badan Usaha Milik Daerah sudah dikenal luas di lingkungan pemerintahan dan
BUMN/BUMD (Karni, 2000:117).
D.
Kerangka Pikir
Hasil
telaah pustaka yang telah dipaparkan diatas terlihat bahwa Kinerja Pelayanan
memberikan dampak dan kontribusi yang sangat besar terhadap kemajuan suatu
bangsa dan merupakan usaha dalam menterjamahkan pesan-pesan kontitusi serta
sarana dalam membangun watak bangsa. Pelayanan yang adil dan merata terhadap
semua kalangan akan memberikan nuansa kehidupan secara progresif yang akan
membentuk kepedulian dan rasa bertanggung jawab, apalagi ditopang oleh ahlak
yang mulia.
Ketika
para pelayan publik berupaya memfokuskan perhatian pada masalah pencapaian
tujuan pelayanan yang adil dan merata, maka persoalan pelayanan sektor publik
terhadap partisipasi politik menjadi syarat mutlak menyertai keseluruhan
potensi dan perilaku para masyarakat dalam menerima perlakuan yang sama dan
adil.
Kinerja
pelayanan sektor publik berperan penting dalam peningkatan partisipasi politik,
dan begitupun sebaliknya. Kinerja Pelayanan yang sehat pada dasarnya merupakan
proses kegiatan untuk meningkatkan rasa kepercayaan masyarakat terhadap sektor
publik yang selama ini selalu dianggap lebih condong ke kalangan elit yang
memiliki finansial yang berkecukupan. Sebab secara logis dapat diterangkan
bahwa dengan kinerja pelayanan yang adil dan merata, maka partisipasi politik
dapat diselesaikan dengan rasional dalam membangun hubungan yang baik antara
masyarakat dengan pemerintah yang selama ini renggang karena kebijakan-kebijakan
yang selalu mengesampingkan kalangan ke bawah sehingga suatu partisipasi
politik dapat terselesaikan secara demokrasi. Hal ini dapat menumbuhkan sikap
dan kemampuan kerja sama diatara sesama masyarakat dalam partisipasi politik
Adapun
kerangka pikir dari penilitian ini dapat digambarkan sebagai berikut:
Skema
Kerangka Pikir
E.
Defenisi Operasional
1.
Kinerja
merupakan suatu istilah secara umum yang digunakan untuk sebagian atau seluruh
tindakan atau aktivitas dari suatu organisasi pada suatu periode dengan
referensi pada sejumlah standar seperti biaya-biaya masa lalu atau yang
diproyeksikan, dengan dasar efisiensi, pertanggungjawaban atau akuntabilitas
manajemen dan semacamnya (Srimindarti, 2004).
2. Pelayanan adalah suatu kegiatan atau urutan kegiatan yang
terjadi dalam interaksi langsung antara seseorang dengan orang lain atau mesin
secara fisik, dan menyediakan kepuasan pelanggan.
3.
Sektor Publik
adalah suatu entitas yang aktivitasnya berhubungan dengan usaha untuk
menghasilkan barang dan pelayanan publik dalam rangka memenuhi kebutuhan dan
hak publik.
4.
Mengkomunikasikan
strategi pelayanan secara lebih baik adalah prinsip utama dalam melayani
pasien. Cara ini dilakukan agar seluruh masyarakat dapat mengerti skema
pelayanan dan menikmati kenyamanan dari pelayanan rumah sakit. Selain itu,
pasien juga dapan mengetahui kinerja pelayanan sektor publik rumah sakit
tersebut.
5.
Mengukur
finansial dan non-finansial merupakan faktor pendukung kualitas dan kuantitas
sarana dan prasarana lembaga swadaya masyarakat. Finansial harus dimenej secara
baik karena hal ini merupakan faktor pendukung berkembangnya pelayanan publik
LSM Pattiro Jeka.
6.
Memberikan
pelayanan yang maksimal adalah tujuan utama dalam pelayanan LSM Pattiro Jeka.
Dengan adanya pelayanan yang maksimal, maka kinerja pelayanan publik bisa
dinilai sejauh mana peningkatan kinerja LSM Tersebut tersebut.
7.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan
Lokasi Penelitian
Penelitian
ini berlokasi
Kabupaten Jeneponto tentang Formasi Organisasi
Masyarakat Sipil dalam Mendorong Akuntabilitas Pelayanan Publik (Study Kasus
LSM Pattiro Jeka. Dengan mengambil obyek
penelitian di Kabupaten
Jeneponto mengenai Formasi Organisasi Masyarakat Sipil
dalam Mendorong Akuntabilitas Pelayanan
kinerja pelayanan publik. Waktu penelitian ini akan dilakukan ± 2 (dua) bulan
dengan pertimbangan penulis memilih lokasi tersebut karena penulis melihat
belum maksimalnya formasi organisasi masyarakat sipil dalam mendorong
akuntabilitas kinerja pelayanan publik khususnya LSM pattiro Jeka di kabupaten jeneponto.
B. Tipe dan
Dasar Penelitian
Adapun
tipe dan dasar penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:
1.
Tipe penelitian
yang digunakan adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan tujuan untuk
memberikan gambaran tentang sejauh mana kinerja pelayanan publik khususnya pada
LSM Pattiro Jeka Kabupaten Jeneponto.
2.
Dasar penelitian
yang dilakukan adalah survey yaitu penelitian yang pelaksanaannya dengan cara
mengumpulkan data dan informasi sebanyak mungkin lalu kemudian melakukan
penarikan kesimpulan mengenai apa yang hendak diperoleh dalam penelitian.
C. Populasi dan
Sampel
1.
Populasi
Dalam
penelitian ini yang menjadi populasi adalah seluruh perangkat kerja Lembaga
Swadaya Masyarakat Pattiro Jeka Kabupaten Jeneponto.
2.
Sampel
Di
dalam penelitian ini teknik penentuan sampel digunakan adalah Purposive
Sampling. Purposive Sampling adalah teknik pengambilan sampel atas
dasar keterwakilan/sengaja populasi dengan sampel yang berjumlah 15 orang dari
pegawai LSM Pettiro Jeka dan 45 dari masyarakat setempat. Teknik sampling ini
dipilih untuk mewakili setiap bagian pada para pegawai di LSM Pattiro Jeka
Kabupaten Jeneponto.
·
Responden, terdiri dari atas:
No
|
JABATAN
|
JUMLAH
|
1.
|
Ketua LSM Pattiro
Jeka
|
1 orang
|
2.
|
Sekretasis LSM
Pattiro Jeka
|
1 orang
|
3.
|
Pengurus Harian
LSM Pattiro Jeka
|
13 orang
|
4.
|
Masyarakat
Setempat
|
45 orang
|
Jumlah
|
60 orang
|
D. Teknik
Pengumpulan Data
Teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1.
Observasi adalah
teknik pengumpulan data yang ada di lapangan melalui pengamatan dengan dua cara
yaitu:
a.
Pengamatan
langsung
Pengamatan
yang dilakukan tanpa perantara terhadap objek yang diteliti.
b.
Pengamatan tidak
langsung
Pengamatan
yang dilakukan terhadap suatu objek melalui perantara suatu alat atau cara,
baik dilaksanakan dalam situasi sebenarnya maupun buatan.
2.
Kuesioner adalah
suatu teknik pengumpulan data dengan menyebarkan sejumlah angket kepada
responden yang ditetapkan sebagai sampel.
3.
Wawancara adalah
melakukan tanya jawab secara tatap muka dengan mengajukan pertanyaan secara
langsung kepada informan, sesuai dengan pedoman atau daftar pertanyaan yang
telah dipersiapkan sebelumnya oleh peneliti.
E. Jenis dan
sumber data
1.
Jenis Data
Jenis
data yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada dua jenis data, yaitu
data kuantitatif dan data kualitatif:
a.
Data kuantitatif
adalah data-data yang diperoleh dalam bentuk angka-angka.
b.
Data kualitatif
adalah data-data yang tidak berbentuk angka, tetapi cukup menggambarkan suatu
keadaan yang berhubungan dengan kinerja pelayanan Lembaga Swadaya Masyarakat
Pattiro Jeka Kabupaten Jeneponto.
2.
Sumber Data
Sumber
data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari data primer dan sekunder:
a.
Data primer
adalah data yang dikumpulkan dan diolah sendiri oleh pengguna data, yang
diperoleh melalui kuesioner dan wawancara secara intensif terhadap beberapa
responden yang ditetapkan sebagai sampel.
b.
Data sekunder
adalah data yang dikumpulkan peneliti dari dokumen-dokumen dan laporan-laporan
dengan masalah yang diteliti.
F. Teknik
Analisis Data
Data
dalam penelitian ini dianalisis menurut pendekatankualitatifdeskriptif yaitu
dengan cara dimana data yang sudah diperoleh dari hasil observasi, wawancara,
dan kuesioner diolah dengan baik menjadi perangkat informasi yang bisa
memperoleh kesimpulan. Kemudian data dikumpulkaan yang berkaitan dengan objek
yang telah diteliti, dianalisis dalam bentuk deskriftif.
G.
Sistematika
Penulisan Skripsi
BAB
I Pendahuluan, memuat latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan
kegunaan penelitian.
BAB
II Kajian Pustaka, memuat defenisi, kerangka pemikiran, dan defenisi
operasional.
BAB
III Metode Penelitian, memuat lokasi penelitian, tipe dan dasar penelitian,
populasi dan sampel, teknik pengumpulan data, jenis dan sumber data, teknik
analisis data, sistematika penulisan skripsi.
BAB
IV Hasil Penelitian dan Pembahasan, memuat gambaran umum tentang Lembaga
Swadaya Masyarakat Pattiro Jeka Kabupaten Jeneponto, serta pembahasan mengenai
formasi organisasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas pelayanan .pada LSM
Pattiro Jeka Kabupaten Jeneponto.
BAB
V Penutup, memuat kesimpulan dan saran
Daftar
Pustaka
DAFTAR PUSTAKA
Dharma, Surya. 2010. Manajemen
Kinerja: Falsafah Teori dan Penerapannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Kencana Syafiie, Inu. 2011. Manajemen
Pemerintahan. Pustaka Reka Cipta. Bandung.
Madani, Muhlis. dkk. 2011. Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas
Muhammadiyah Makassar. Unismuh Makassar. Makassar.
Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor
Publik, Penerbit Andi. Yogyakarta.
Mulyadi. 2001. Balanced
Scorecard, Salemba Empat.Yogyakarta.
Partanto, Pius A. & Al-Barry, M.
Dahlan. 1994. Kamus Ilmiah Populer. Arkola. Surabaya.
Srimindarti, Caecilia. 2004.
Balanced Scorecard sebagai alternative untuk mengukur kinerja. Fokus Ekonomi,
Vol.3, No.1, Hal.52-64.
Sugiyono.2004. Metode
Penelitian Bisnis, CV Alvabeta. Bandung.
Sugono, Dendy. dkk. 2008. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Penerbit Tim Penyusun Kamus Bahasa Indonesia.
Jakarta.
Surjadi. 2009. Pengemmbangan Kinerja
Pelayanan Publik. Refika Aditama. Bandung.
Tjiptono, Fandy. 2000. Prinsip-prinsip
Total Quality Service, ANDI. Yogyakarta.
Website:
Annefahira. Akses website: http://www.anneahira.com/pengertian-pelayanan.htm, diakses pada tanggal 2 maret 2013
Mr. Doen. Akses website: http://www.docstoc.com/docs/80484691/Definisi-Rumah-Sakit, diakses pada tanggal 2 maret 2013
Sam, Arianto. Akses website: http://sobatbaru.blogspot.com/2010/05/definisi-sektor-public.html, diakses pada tanggal 2 maret 2013
[1]http://id.wikipedia.org/wiki/Lembaga_Swadaya_Masyarakat,
Februari 2013
[2]
http://id.wikipedia.org/wiki/Akuntabilitas.
20 Maret 2013
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah menitipkan komentar
semoga informasi ini bermanfaat
Wassalam