Mentalitas ’Bang Bang Tut’ Bangsa Kita
Ketika menonton tayangan TV yang
menyiarkan kasus contekan massal di Gadel Surabaya, Sufi Kenthir tertawa
terpingkal-pingkal memegangi perut sambil melangkah terhuyung-huyung ke teras
mushola. Sufi tua, Sufi Sudrun, Dullah, dan Sukiran yang sedang berbincang soal
biaya pendidikan yang sangat tinggi, terheran-heran melihat Sufi Kenthir yang
ketawa terpingkal-pingkal masuk ke toilet dan kemudian keluar lagi masih
ketawa.
”Ada apa kang tidak hujan tidak angin
kok ketawa terpingkal-pingkal?” tanya Dullah heran.
”Ada berita lucu di kampung Gadel,
Surabaya,” sahut Sufi Kenthir masih ketawa,”Waktu ada kentut busuk
menebar bergumpal-gumpal memenuhi sekolah dan ada orang jujur
yang menyatakan bahwa dia membaui kentut busuk, ee dia malah
dimaki-maki dan diusir-usir oleh masyarakat dari kampungnya. Masyarakat
ingin orang jujur itu menyatakan bahwa yang diciumnya itu adalah aroma wangi
semerbak laksana kesturi.”
”Alaah, aku tahu itu,” sahut Sufi
Sudrun menukas,”Pasti soal contekan massal siswa SD yang diributkan itu kan?”
”Iya, lucu sekali itu, ada orang jujur
kok dimusuhi dan diusir, lucu..,” sahut Sufi Kenthir.
”Salahnya, melanggar aturan moral
’bang bang tut’ yang jadi ciri khas nilai moral bangsa jahil,” sahut Sufi
Sudrun sinis.
”Maaf, kang,” sahut
Dullah ingin tahu,”Apa maksudnya aturan moral ’bang bang tut’ yang jadi ciri
khas nilai moral bangsa jahil?”
”Maksudnya, kalau ada bau kentut busuk
menyebar, siapa pun yang mencium wajib diam atau malah memuji-muji dengan
menyatakan telah mencium bau wangi semerbak,” kata Sufi Sudrun.
”Hmm masuk akal juga, kang,” sahut
Dullah manggut-manggut,”Tapi kan kasusnya baru contekan massal itu yang bisa
dianalogikan dengan ’bang bang tut’, belum bisa dianalogikan bahwa kasus itu
sudah menjadi sebuah mentalitas yang ditopang nilai-nilai.”
”He Dul,” sahut Sufi Kenthir,”Kamu
sudah tahu kasus Wa Ode di Badan Anggaran DPR RI yang membongkar kasus MAFIA
anggaran dalam acara Mata Najwa di Metro TV?”
”Ya, aku nonton itu,” sahut Dullah
cepat.
”Apa yang dialami Wa Ode?” tanya Sufi
Kenthir sudah tidak ketawa.
”Dia dikeroyok dari berbagai arah dan
dipojokkan sebagai penjahat dengan bukti-bukti yang dibuat seolah-olah terkait
Wa Ode,” kata Dullah.
”Nah, salah dia kan, bau kentut busuk
di DPR diomongkan ke publik, babak belur dia kalau tidak buru-buru kompromi,”
sahut Sufi Kenthir.
”Iya juga ya.”
”Ingat tidak kasus Susno Duaji yang
mencium bau kentut busuk di Polri?” tanya Sufi Kenthir.
”Ya pasti kang,” sahut Dullah,”Dia
malah masuk bui. Sedang teman-temannya yang kentut malah bebas berleha-leha.”
”Ingat kasus Antasari Azhar yang
mengotak-atik kentut busuk orang-orang Kejaksaan Agung dan jaksa-jaksa nakal
yang menjadi temannya. Apa yang dialaminya?” tanya Sufi Kenthir.
”Ya dikeroyok ramai-ramai dan
dijebloskan ke dalam bui dengan kasus rekayasa.”
”Jadi menurut pandanganku,
diakui atau tidak diakui mentalitas ’bang bang tut’ itu sudah menjadi
mentalitas bangsa, yaitu gotong-royong dalam kejahatan dan kezhaliman,” kata
Sufi Kenthir.
”Bagaimana penjelasannya bisa seperti
itu, kang?” tanya Dullah penasaran,”Terutama dalam hubungan dengan kasus
contekan massal di Surabaya. Ini penting kang, karena orang-orang yang
bertindak jahat malah beramai-ramai melakukan aksi massa untuk
membenarkan sebuah tindak kejahatan busuk. Kasus ini absurd kang,
para orang tua melindungi tindakan kejahatan yang dilakukan anak-anak
mereka hanya karena ingin lulus sekolah.”
”Sesungguhnya, kecenderungan
terjadinya penyimpangan di dunia pendidikan seperti tawuran antar
pelajar, guru menyiksa murid, siswa bunuh diri, siswa terlibat
kriminalitas, kepala sekolah korupsi dana pendidikan, guru dagang LKS, Komite
Sekolah bikin proyek-2 untuk memeras wali murid, manipulasi data
sertifikasi, dagang skripsi, ijazah palsu, LPJ fiktif, Diknas melanggar
ketetapan MA, bocornya soal UAN, dan fenomena contekan massal di
sekolah-sekolah unggulan pada dasarnya adalah suatu hal luar biasa
yang karena biasa terjadi sebagai kebiasaan yang dibiasakan, lalu
menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Itu terbukti saat terkuaknya contekan massal
di kampung Gadel, Surabaya, yang ramai dibicarakan orang di media massa
itu, cukup ditanggapi Mendiknas dengan komentar bahwa isu contekan massal itu
tidak dapat dibuktikan, sehingga kasus itu harus dianggap sebagai isu
yang tidak perlu ditindak-lanjuti,” sahut Sufi Kenthir.
“Kenapa bisa seperti itu
komentarnya, kang?”
“Lha, kalau
ditindak-lanjuti, bisa kacau-balau dunia pendidikan di negeri ini terutama jika
sekolah-sekolah unggulan terbukti selama bertahun-tahun mempraktekkan contek-mencontek
massal. Jadi anggap saja kasus SD Gadel itu sebagai aksiden yang ditimbulkan
seorang ibu rumah tangga yang tidak faham dunia pendidikan,” kata Sufi
Kenthir.
”Masalahnya, tidak cukup berhenti pada
kasus contekan massal itu,” tiba-tiba Guru Sufi yang keluar dari mushola
ikut menyela,”Tapi yang lebih menyedihkan adalah fakta
seputar menguatnya dominasi kejahatan dibanding kebaikan, lebih kuatnya
kebohongan dibanding kejujuran, hegemoni kecurangan di atas keadilan.”
”Maaf Mbah Kyai, maksudnya apa?” tanya
Dullah ingin tahu.
”Bangsa ini sekarang lagi mengalami
transvaluasi nilai-nilai,” sahut Guru Sufi.
”Transvaluasi nilai-nilai,”sahut
Dullah mengerutkan kening,”Apa maksudnya?”
”Transvaluasi nilai-nilai
seperti yang disebut Friedrich Nietzsche dalam pandangan yang disebut ’der
wille zur macht. Eine umwertung aller werte’, yaitu ’ambisi untuk berkuasa,
sebuah transvaluasi nilai-nilai’. Maksudnya, manusia harus mau jujur untuk
mengakui bahwa mereka sejatinya menyimpan ambisi untuk menang dan berkuasa, di
mana untuk mewujudkan ambisi itu harus dilakukan transvaluasi nilai-nilai,”
kata Guru Sufi menjelaskan.
”Maksudnya transvaluasi yang
bagaimana Mbah Kyai?” tanya Dullah ingin tahu.
”Ya manusia harus mengakui dengan
jujur jika mereka sejatinya menganut nilai-nilai yang didasari hasrat dan
dorongan nafsu seperti ambisius untuk berkuasa, arogan, kuat, menindas,
licik, curang, dan sewenang-wenang. Mereka yang menganut nilai nafsu inilah
yang disebut manusia bermental tuan. Sedang manusia yang menganut nilai-nilai
yang didasari hasrat dan dorongan ruh seperti kasih, sabar, dermawan, empaty,
simpati, dan rela berkorban. Mereka yang menganut nilai ruh inilah yang disebut
manusia bermental budak,” kata Guru Sufi.
”Walah Mbah Kyai, bisa kiamat dunia
kalau pikiran Nietzsche itu dijalankan,” kata Dullah.
”Setuju atau tidak setuju dengan
gagasan Nietzsche tentang manusia bermental tuan yang akan menjadi ubermensch
dan manusia bermental budak yang akan kalah, yang pasti sekarang ini gagasan
Nietsche itu muncul dalam kenyataan. Semua hal yang dilatari hasrat nafsu,
benar-benar menjadi panglima yang berwenang menentukan kebenaran. Sementara
manusia yang hidup dilatari sentuhan ruh akan disingkirkan dari kehidupan
dengan macam-macam tuduhan,” sahut Guru Sufi.
”Bagaimana transformasi itu bisa
terjadi. Mbah Kyai?” tanya Dullah sedih.
”Lewat penyebaran
wacana-wacana bersifat netralitas etik yang disebar secara cepat
dan sistematis melalui media komunikasi cetak dan elektronik, sehingga
pengaruhnya dengan dahsyat perlahan-lahan memonopoli nilai-nilai
kebenaran atas nama universalisme. Hegemoni nilai-nilai yang
dinetralkan itu tidak saja berkembang di dalam aspek ekonomi,
politik, hukum, pendidikan, dan ideologi melainkan mencakup pula aspek sosial
dan budaya yang ditandai oleh tergesernya berbagai nilai lama
ke dalam nilai-nilai baru yang tidak jelas pijakannya,” kata Guru Sufi.
”Yang dimaksud nilai-nilai
yang tak jelas pijakannya itu bagaimana, Mbah Kyai?” tanya Dullah.
”Ya seperti waktu dilakukan
voting untuk menentukan kasus bail out Bank Century itu korupsi atau tidak, itu
sangat dahsyat pengaruhnya bagi pembentukan nilai-nilai, karena yang
bersengketa adalah para wakil rakyat. Jadi kalau perkara itu saja dinetralkan
nilainya, di mana meski mereka yang menyatakan bahwa dalam kasus Bank Century
yang berbau busuk kentut itu sempat menang suara, tetapi ujungnya menjadi
tidak jelas. Bahkan anggota dewan wakil rakyat yang menyatakan mencium bau
kentut busuk dalam skandal Rp 6,7 triliun itu akhirnya didepak dari partainya,”
kata Guru Sufi.
”Waduh berarti tidak salah ya
Mbah Kyai kalau wong cilik rame-rame mengikuti nilai-nilai yang tidak jelas
alias netral dari etika seperti dicontohkan wakil-wakilnya di DPR, begitukah
Mbah Kyai?” kata Dullah minta pendapat.
”Kenyataannya memang begitu,
tapi bangsa munafik ini mana mau mengakui,” sahut Sufi Kenthir menyahuti
pertanyaan Dullah.
“Inilah yang disebut Guru Kencing Berdiri
Murid kencing berlari,” sahut Dullah berbarengan dengan Sukiran.
“Bukan,” sahut Sufi
Kenthir,”Yang benar, Guru kencing berlari, murid kencing bersalto dan
jumpalitan.”
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah menitipkan komentar
semoga informasi ini bermanfaat
Wassalam