Minggu, 31 Maret 2013
0 komentar

Pendidikan Cermin Bangsa


oleh Agus Sunyoto II pada 17 Juni 2011 jam 1:03
Mentalitas ’Bang Bang Tut’ Bangsa Kita

 Ketika menonton tayangan TV yang menyiarkan kasus contekan massal di Gadel Surabaya, Sufi Kenthir tertawa terpingkal-pingkal memegangi perut sambil melangkah terhuyung-huyung ke teras mushola. Sufi tua, Sufi Sudrun, Dullah, dan Sukiran yang sedang berbincang soal biaya pendidikan yang sangat tinggi, terheran-heran melihat Sufi Kenthir yang ketawa terpingkal-pingkal masuk ke toilet dan kemudian keluar lagi masih ketawa.

”Ada apa kang tidak hujan tidak angin kok ketawa terpingkal-pingkal?” tanya Dullah heran.
”Ada berita lucu di kampung Gadel, Surabaya,” sahut Sufi Kenthir masih ketawa,”Waktu ada kentut busuk menebar  bergumpal-gumpal memenuhi sekolah dan  ada orang jujur yang  menyatakan bahwa  dia membaui  kentut busuk, ee dia malah dimaki-maki dan diusir-usir oleh masyarakat dari kampungnya.  Masyarakat ingin orang jujur itu menyatakan bahwa yang diciumnya itu adalah aroma wangi semerbak laksana kesturi.”
”Alaah, aku tahu itu,” sahut Sufi Sudrun menukas,”Pasti soal contekan massal siswa SD yang diributkan itu kan?”
”Iya, lucu sekali itu, ada orang jujur kok dimusuhi dan diusir, lucu..,” sahut Sufi Kenthir.
”Salahnya, melanggar aturan moral ’bang bang tut’ yang jadi ciri khas nilai moral bangsa jahil,” sahut Sufi Sudrun sinis.
    ”Maaf, kang,” sahut Dullah ingin tahu,”Apa maksudnya aturan moral ’bang bang tut’ yang jadi ciri khas nilai moral bangsa jahil?”
”Maksudnya, kalau ada bau kentut busuk menyebar, siapa pun yang mencium wajib diam atau malah memuji-muji dengan menyatakan telah mencium bau wangi semerbak,” kata Sufi Sudrun.
”Hmm masuk akal juga, kang,” sahut Dullah manggut-manggut,”Tapi kan kasusnya baru contekan massal itu yang bisa dianalogikan dengan ’bang bang tut’, belum bisa dianalogikan bahwa kasus itu sudah menjadi sebuah mentalitas yang ditopang nilai-nilai.”
  ”He Dul,” sahut Sufi Kenthir,”Kamu sudah tahu kasus Wa Ode di Badan Anggaran DPR RI yang membongkar kasus MAFIA anggaran dalam acara Mata Najwa di Metro TV?”
”Ya, aku nonton itu,” sahut Dullah cepat.
”Apa yang dialami Wa Ode?” tanya Sufi Kenthir sudah tidak ketawa.
”Dia dikeroyok dari berbagai arah dan dipojokkan sebagai penjahat dengan bukti-bukti yang dibuat seolah-olah terkait Wa Ode,” kata Dullah.
”Nah, salah dia kan, bau kentut busuk di DPR diomongkan ke publik, babak belur dia kalau tidak buru-buru kompromi,” sahut Sufi Kenthir.
”Iya juga ya.”
”Ingat tidak kasus Susno Duaji yang mencium bau kentut busuk di Polri?” tanya Sufi Kenthir.
”Ya pasti kang,” sahut Dullah,”Dia malah masuk bui. Sedang teman-temannya yang kentut malah bebas berleha-leha.”
”Ingat kasus Antasari Azhar yang mengotak-atik kentut busuk orang-orang Kejaksaan Agung dan jaksa-jaksa nakal yang menjadi temannya. Apa yang dialaminya?” tanya Sufi Kenthir.
 ”Ya dikeroyok ramai-ramai dan dijebloskan ke dalam bui dengan kasus rekayasa.”
 ”Jadi menurut pandanganku, diakui atau tidak diakui mentalitas ’bang bang tut’ itu sudah menjadi mentalitas bangsa, yaitu gotong-royong dalam kejahatan dan kezhaliman,” kata Sufi Kenthir.
”Bagaimana penjelasannya bisa seperti itu, kang?” tanya Dullah penasaran,”Terutama dalam hubungan dengan kasus contekan massal di Surabaya. Ini penting kang, karena  orang-orang yang bertindak jahat malah beramai-ramai melakukan aksi  massa untuk membenarkan  sebuah tindak kejahatan busuk. Kasus ini absurd kang, para  orang tua melindungi tindakan kejahatan yang dilakukan anak-anak mereka  hanya karena ingin lulus sekolah.”  
”Sesungguhnya, kecenderungan terjadinya penyimpangan di dunia pendidikan seperti tawuran antar pelajar,  guru menyiksa murid,  siswa bunuh diri, siswa terlibat kriminalitas, kepala sekolah korupsi dana pendidikan, guru dagang LKS, Komite Sekolah bikin proyek-2 untuk  memeras wali murid,  manipulasi data sertifikasi, dagang skripsi,  ijazah palsu, LPJ fiktif, Diknas melanggar ketetapan MA, bocornya soal UAN, dan fenomena contekan massal di sekolah-sekolah unggulan pada dasarnya adalah suatu   hal luar biasa yang karena  biasa terjadi sebagai kebiasaan yang dibiasakan, lalu  menjadi sesuatu yang biasa-biasa saja. Itu terbukti saat terkuaknya contekan massal di kampung Gadel,  Surabaya, yang ramai dibicarakan orang di media massa itu, cukup ditanggapi Mendiknas dengan komentar bahwa isu contekan massal itu tidak dapat dibuktikan, sehingga kasus itu  harus dianggap sebagai isu yang tidak perlu ditindak-lanjuti,” sahut Sufi Kenthir.
  “Kenapa bisa seperti itu komentarnya, kang?”
  “Lha, kalau ditindak-lanjuti, bisa kacau-balau dunia pendidikan di negeri ini terutama jika sekolah-sekolah unggulan terbukti selama bertahun-tahun mempraktekkan contek-mencontek massal. Jadi anggap saja kasus SD Gadel itu sebagai aksiden yang ditimbulkan seorang ibu rumah tangga yang tidak faham dunia pendidikan,” kata Sufi Kenthir.   
”Masalahnya, tidak cukup berhenti pada kasus contekan massal itu,” tiba-tiba Guru Sufi yang keluar dari mushola ikut  menyela,”Tapi yang lebih menyedihkan adalah  fakta seputar  menguatnya dominasi kejahatan dibanding kebaikan, lebih kuatnya kebohongan dibanding kejujuran, hegemoni kecurangan di atas keadilan.”
”Maaf Mbah Kyai, maksudnya apa?” tanya Dullah ingin tahu.
”Bangsa ini sekarang lagi mengalami transvaluasi nilai-nilai,” sahut Guru Sufi.
”Transvaluasi nilai-nilai,”sahut Dullah mengerutkan kening,”Apa maksudnya?”
 ”Transvaluasi nilai-nilai seperti yang disebut Friedrich Nietzsche dalam pandangan yang disebut ’der wille zur macht. Eine umwertung aller werte’, yaitu ’ambisi untuk berkuasa, sebuah transvaluasi nilai-nilai’. Maksudnya, manusia harus mau jujur untuk mengakui bahwa mereka sejatinya menyimpan ambisi untuk menang dan berkuasa, di mana untuk mewujudkan ambisi itu harus dilakukan transvaluasi nilai-nilai,” kata Guru Sufi menjelaskan.
 ”Maksudnya transvaluasi yang bagaimana Mbah Kyai?” tanya Dullah ingin tahu.
 ”Ya manusia harus mengakui dengan jujur jika mereka sejatinya menganut nilai-nilai yang didasari hasrat dan dorongan nafsu seperti ambisius untuk berkuasa, arogan,  kuat, menindas, licik, curang, dan sewenang-wenang. Mereka yang menganut nilai nafsu inilah yang disebut manusia bermental tuan. Sedang manusia yang menganut nilai-nilai yang didasari hasrat dan dorongan ruh seperti kasih, sabar, dermawan, empaty, simpati, dan rela berkorban. Mereka yang menganut nilai ruh inilah yang disebut manusia bermental budak,” kata Guru Sufi.
”Walah Mbah Kyai, bisa kiamat dunia kalau pikiran Nietzsche itu dijalankan,” kata Dullah.
”Setuju atau tidak setuju dengan gagasan Nietzsche tentang manusia bermental tuan yang akan menjadi ubermensch dan manusia bermental budak yang akan kalah, yang pasti sekarang ini gagasan Nietsche itu muncul dalam kenyataan. Semua hal yang dilatari hasrat nafsu, benar-benar menjadi panglima yang berwenang menentukan kebenaran. Sementara manusia yang hidup dilatari sentuhan ruh akan disingkirkan dari kehidupan dengan macam-macam tuduhan,” sahut Guru Sufi.
 ”Bagaimana transformasi itu bisa terjadi. Mbah Kyai?” tanya Dullah sedih.    
 ”Lewat penyebaran wacana-wacana  bersifat netralitas etik  yang disebar secara cepat dan sistematis  melalui media komunikasi cetak dan elektronik, sehingga pengaruhnya  dengan dahsyat perlahan-lahan  memonopoli nilai-nilai kebenaran atas nama universalisme.  Hegemoni nilai-nilai yang dinetralkan  itu  tidak saja  berkembang di dalam aspek ekonomi, politik, hukum, pendidikan, dan ideologi melainkan mencakup pula aspek sosial dan  budaya yang  ditandai oleh tergesernya berbagai  nilai lama ke dalam nilai-nilai baru yang tidak jelas pijakannya,” kata Guru Sufi.
 ”Yang dimaksud nilai-nilai  yang tak jelas pijakannya itu bagaimana, Mbah Kyai?” tanya Dullah.
 ”Ya seperti waktu dilakukan voting untuk menentukan kasus bail out Bank Century itu korupsi atau tidak, itu sangat dahsyat pengaruhnya bagi pembentukan nilai-nilai, karena yang bersengketa adalah para wakil rakyat. Jadi kalau perkara itu saja dinetralkan nilainya, di mana meski mereka yang menyatakan bahwa dalam kasus Bank Century yang  berbau busuk kentut itu sempat menang suara, tetapi ujungnya menjadi tidak jelas. Bahkan anggota dewan wakil rakyat yang menyatakan mencium bau kentut busuk dalam skandal Rp 6,7 triliun itu akhirnya didepak dari partainya,” kata Guru Sufi.
”Waduh berarti tidak  salah ya Mbah Kyai kalau wong cilik rame-rame mengikuti nilai-nilai yang tidak jelas alias netral dari etika seperti dicontohkan wakil-wakilnya di DPR, begitukah Mbah Kyai?” kata Dullah minta pendapat.
 ”Kenyataannya memang begitu, tapi bangsa munafik ini mana mau mengakui,” sahut Sufi Kenthir menyahuti pertanyaan Dullah.
 “Inilah yang disebut Guru Kencing Berdiri Murid kencing berlari,” sahut Dullah berbarengan dengan Sukiran.
   “Bukan,” sahut Sufi Kenthir,”Yang benar, Guru kencing berlari, murid kencing bersalto dan jumpalitan.”

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah menitipkan komentar
semoga informasi ini bermanfaat
Wassalam

 
Toggle Footer
Top