Globalisasi
Sebagai Isu
Tulisan
berikut ini hendak mengedepankan suatu isu menyangkut globalisasi yang
mengundang polemik antara pendapat pihak-pihak yang pro dengan pihak-pihak yang
kontra dengan globalisasi, dengan argumen masing-masing sebagai berikut:
George Soros
dalam On Soros: Staying Ahead of the Curve (1995) menyebutkan bahwa
seiring meredanya ketegangan perang dingin (cold war) antara Barat
dengan Timur akibat runtuhnya komunisme, terjadi tatanan baru dunia yang
disebut a global open society, yakni tatanan dunia yang dibangun di atas
empat ciri utama: (1) effective competition, yaitu bentuk persaingan di
mana situasi nilai dan peluang-peluang selalu berubah; (2) memaksimalkan
kebebasan individual dengan membiarkan orang memasuki berbagai pilihan alternatif
yang tersedia secara global; (3) hubungan sosial berdasar kontrak sosial di
mana individu sebagai nucleus dari struktur masyarakat mengambang secara global
tanpa perlu akar tempat berpijak yang mengikat; (4) nilai-nilai hanyalah
masalah pilihan seperti orang memilih di tempat mana mau berinvestasi atau
berspekulasi.
Alan Touraine
dalam tulisan berjudul Two Interpretation of Social Change (1992)
menggambarkan bahwa di dalam dunia global, akan terjadi perubahan besar di
bidang sosial dan ekonomi, di mana dalam konteks sosial konsep-konsep kehidupan
sosial seperti integrasi, kesatuan, persatuan, nasionalisme dan solidaritas
akan tenggelam dalam realita sosial dan sekedar menjadi mitos, karena kehidupan
sosial menjadi tak lebih dari sebuah arus perubahan terus-menerus yang di
dalamnya aktor-aktor individu maupun kolektif tidak lagi bertindak sesuai
dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial, tetapi mengikuti strategi
masing-masing yang berperan di dalam proses perubahan, serta tidak dapat lagi
sepenuhnya dikontrol oleh kekuasaan Negara.
Rich De Vos
dalam buku berjudul Compassionate Capitalism (1995) mengemukakan gagasan
bahwa setelah hancurnya teritorial-teritorial tradisional akibat kapitalisme
awal, maka kekuatan produksi kapitalisme harus diarahkan menjadi passionate
capitalism di mana dibutuhkan rumus-rumus totaliterianisme baru yang mampu
mengontrol, memproduksi, dan mendistribusikannya ke dalam konsumerisme massa.
Di tengah persaingan bebas, setiap orang harus menjaga keseimbangan antara
kepentingan pribadi dengan panggilan hati nuraninya akan kebaikan dan perbuatan
mulia. Gagasan Rich De Vos ini disebut compassionate capitalism,
kapitalisme berwajah sosial yang akan menjadi wajah bagi masa depan.
Peter Evans di
dalam Dependent Development (1979) mengungkapkan bahwa wajah baru
imperialisme memang mempesona. Dalam struktur ekonomi ia mewujudkan diri dalam
topeng "globalisasi". Semua negara dipaksa untuk membuka diri dalam
sektor ekonomi. Globalisasi memperlihatkan wajah aslinya ketika IMF lewat paket-paket
bantuan memorak-porandakan negara-negara Asia yang mengalami krisis moneter.
Dengan intervensi bantuannya, IMF telah melegitimasi teori-teori ketergantungan
(dependency theory) dalam hubungan antar ekonomi pada sistem kapitalisme
global. Menurut Tuathail dan Dalby (1998), Neo Imperialisme diwujudkan dalam
rekayasa dan skenario penguasaan secara tidak langsung wilayah suatu negara.
Imperialisme modern dioperasionalisasikan; pertama, secara formal (formal
geopolitics) melalui lembaga-lembaga strategis, kelompok pemikir dan para
akademisi; kedua, secara praktis (practical geopolitic) misalnya melalui
kebijakan luar negeri, birokrasi dan lembaga-lembaga politik; dan ketiga,
secara umum (popular geopolitics) misalnya melalui media massa, film,
novel dan kartun, dsb.
Globalisasi
dan Neo Imperialisme
Dalam buku
berjudul Globalization Unmasked: imperialism in 21st century (2001),
James Petras dan Henry Veltmeyer secara kritis mengungkap fenomena
globalisasi yang jelas-jelas lebih merugikan negara-negara berkembang dan
sebaliknya menguntungkan secara besar-besaran negara-negara industri maju. Di
situ dijelaskan bahwa negara-negara berkembang dalam proses globalisasi itu
justru akan menjadi semakin miskin karena yang disebut globalisasi itu adalah
sebuah strategi negara-negara industri maju dalam memecahkan kejenuhan pasar
mereka dengan mencari tempat-tempat penjualan bagi barang-barang yang sudah
mengalami kesulitan di pasar dalam negeri negara-negara industri maju. Dalam
proses globalisasi itu akan terjadi sebuah imperialisasi secara tidak langsung
atas negara-negara miskin oleh negara-negara industri maju.
Immanuel
Wallerstein dalam buku A World Systems Reader: New Perspective on Gender,
Urbanism, Cultures, Indigenous Peoples, and Ecology, (dalam Thomas D. Hull
(ed.), 2000: 4-5) dalam teorinya menjelaskan asal-usul dan proses kapitalisme,
revolusi industri, dan hubungan yang rumit antara negara-negara Dunia Pertama,
Kedua dan Ketiga dan peranan masing-masing dalam pertumbuhan kapitalisme dan
industrialisasi, sampai pada dominasi dan hegemoni Dunia Pertama atas dunia
Kedua dan Ketiga. Dengan menggunakan sudut pandang teori Wallerstein, akan
terjelaskan hubungan yang eksploitatif dan dominatif antara negara-negara
pusat/ hegemon/ kapitalis/ imperialis (core/center) dan negara pinggiran yang
dieksploitasi (periphery). Dengan demikian, yang dimaksud sistem imperialisme
dunia, adalah sebuah sistem yang melembagakan dan melanggengkan struktur
hegemoni dan hierarki negara-negara Dunia Pertama (core) dengan negara-negara
Dunia Kedua dan Dunia Ketiga (periphery).
Negara Dunia
Pertama yang mempunyai tingkat distribusi dan produksi industri yang sangat
tinggi, adalah negara terkuat, karena ia memiliki kelas borjuis yang kuat dan
kelas pekerja yang besar. Sebaliknya, negara pinggiran memiliki tingkat
produksi yang rendah (meski memiliki bahan mentah yang cukup), merupakan negara
lemah, kelas borjuisnya kecil dan memiliki banyak petani. Hubungan antara
negara pusat dan pinggiran bersifat hierarkis dan merupakan struktur dominasi
dan eksploitasi (Chase-Dunn, 1998: 203). Dan struktur hierarkis, dominatif dan
eksploitatif itu merupakan komponen utama dari sistem dunia kapitalis saat ini.
Dalam perspektif politik dominasi dan ketergantungan itulah, hubungan
antar-negara sesungguhnya tidak bersifat equal, melainkan yang kuat akan
mengeksploitasi dan mengakumulasi, sedang yang lemah sekedar men-suplai dan
tergantung pada yang kuat. Itulah hakikat terdalam dari imperialisme yang tetap
kuat sampai saat ini.
Wajah baru
imperialisme - yang diistilahkan Bung Karno sebagai Neokolonialisme Imperialis
(Nekolim) -- memang mempesona. Dalam struktur politik, ia dimanifestasikan
dalam topeng pembungkus yang disebut "demokratisasi". Sedang dalam
struktur ekonomi diwujudkan dalam topeng mengerikan "globalisasi".
Semua negara, dipaksa dan didikte untuk menjadi demokratis, paling tidak secara
formal-prosedural. Semua negara dipaksa untuk membuka diri dalam sektor ekonomi
karena globalisasi diasumsikan tidak mungkin dilawan.
Globalisasi
atau Neo Imperialisme sendiri ditandai oleh dua hal pokok. Pertama, ia menuntut
partisipasi aktif negara dalam hubungan ekonomi internasional. Negara
imperialis tidak bisa secara mandiri atau bersama-sama mengimplementasikan
kebijakan-kebijakan neo-kolonial tanpa ada dukungan kapitalisme negara (state
capitalism) di pinggiran. Kedua, yang pertama dan utama, kebijakan neo-kolonial
didesain untuk mencegah potensi independen negara pinggiran dalam melakukan
konsolidasi politik dan sekaligus untuk mempertahankan ketergantungan negara
pinggiran secara penuh dalam sistem kapitalisme dunia (O'Connor, 1981). Karena
itu menurut Tuathail dan Dalby (1998), neo imperialisme diwujudkan dalam
rekayasa dan skenario penguasaan secara tidak langsung wilayah suatu negara,
karena imperialisme modern itu dioperasionalisasikan; pertama, secara formal
(formal geopolitics) melalui lembaga-lembaga strategis, kelompok pemikir dan
para akademisi; kedua, secara praktis (practical geopolitic) misalnya melalui
kebijakan luar negeri, birokrasi dan lembaga-lembaga politik; dan ketiga,
secara umum (popular geopolitics) misalnya media massa, film, novel dan kartun,
dsb.
Indonesia
Diterjang Gelombang Globalisasi
Ketika menjadi
tuan rumah KTT APEC di Bogor 1994, pemerintah Indonesia dengan tegas menerima
jadwal AFTA 2003 dan APEC 2010. Artinya, pemerintah telah komitmen mendukung
globalisasi tingkat ASEAN (ASEAN Free Trade Area) pada 2003 dan globalisasi
tingkat ASEAN - China (ACFTA) pada 2010 dan globalisasi tingkat dunia pada
2015. Anehnya, sampai memasuki tahun 2011, setahun setelah ACFTA dijalankan,
tidak sedikit pun ada penjelasan dari pemerintah tentang kebijakan dan strategi
yang sudah dilakukan pemerintah dalam menghadapi komitmen tersebut. Masyarakat
hanya tahu, bahwa tahun 1997 - tiga tahun setelah penerimaan penjadualan AFTA
2003 dan ACFTA 2010 serta APEC tahun 2015- Indonesia terpuruk ke situasi krisis
moneter (krismon) berlarut-larut disusul penandatanganan Letter Of Intens
antara Presiden Soeharto dengan Michael Camdesus dari IMF yang berujung pada
terbentuknya Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang diawasi Standard
Chartered Bank dan Citybank. Lalu lewat BPPN, aset-aset BUMN dan Swasta
Nasional yang terlilit hutang diambil-alih oleh BPPN untuk dijual (dengan
istilah privatisasi) kepada pemilik kapital dari negara-negara industri maju.
Sejarah mencatat, melalui BPPN raksasa-raksasa kapitalis dunia seperti Caltex,
Shell, Exxon Mobile, British Petroleum, Chevron, Amerada Hess, Standard Mobile
Oil, Marathon, Gulf Union Oil mencaplok aset nasional di bidang pertambangan
minyak dan gas, Freeport dan Newmont mencaplok semua aset nasional di bidang
pertambangan emas, Cement Mexico mencaplok semua aset nasional di bidang
produksi semen, Phillip Morris, British American Tobacco, Soros Corp mencaplok
aset nasional di bidang rokok, cengkeh dan tembakau, ABN Amro Bank, Citybank,
Standard Chartered, Chemical Bank, Chase-Manhattan Bank, Federal Reserve Bank
mencaplok aset nasional di bidang perbankan, bahkan Golden Missisipi dan Nestle
lewat produk Aqua, Ades, Aquades, Club, Cheers mendominasi produk air dalam
kemasan nasional. Melalui BPPN raksasa-raksasa kapitalis dunia mencaplok semua
asset nasional yang menjadikan hutan-hutan terbabat, ladang-ladang minyak
terkuras, sumur-sumur gas tereksploitasi, tanah-tanah pertanian terubah menjadi
real estate dan industrial park dan agrobisnis, tambang-tambang emas
termonopoli, bahkan mata air - mata air terkuasai.
Di tengah arus
perubahan di era global itu, terjadi perubahan dalam aspek sosial-kultur
masyarakat Indonesia yang selama itu dikenal sebagai komunitas tradisional yang
hidup guyub-rukun, sederhana, rajin, gotong-royong, dan religius. Masyarakat
Indonesia, berangsur telah berubah menjadi masyarakat bergaya hidup mewah yang
penuh ditempeli atribut-atribut konsumtif dan hedonis. Masyarakat Indonesia
telah berubah menjadi komunitas buruh sekaligus konsumen utama dari arus
barang-barang produksi dari negara-negara kapitalis, yang lazimnya dibeli
secara kredit.
Kita tidak
tahu pasti, apa yang sesungguhnya sedang terjadi dengan Masyarakat Indonesia
yang selalu memimpikan menjadi ‘masyarakat yang adil dan makmur'. Kita hanya
menyaksikan, betapa di tengah aset-aset milik negara yang beralih ke tangan
para pemilik kapital asing dengan dalih privatisasi yang hakikatnya adalah
dijualnya aset negara kepada pribadi-pribadi pemilik kapital, bagian terbesar
masyarakat telah terlilit utang yang sengaja ditebar counter-counter hp,
developer perumahan, showroom motor dan mobil, toko elektronik, toko computer,
toko khusus kredit, bank perkreditan rakyat, dsb. Anak-anak bangsa yang
idealnya bermartabat, mengalir ke luar negeri sebagai buruh kasar. Jumlah
lulusan sekolah yang menjadi pengamen dan pengangguran makin membesar. Jumlah
gelandangan dan pengemis makin meningkat di jalan-jalan. Pendidikan telah
menjelma menjadi komoditas yang tak terjangkau rakyat kecil. Hukum dijadikan
komoditas perdagangan. Bahkan para elit sibuk berebut kekuasaan dan berlomba
‘menjarah' sisa-sisa kekayaan negara.
Fakta yang
terkait dengan kenyataan hidup warga ‘negara-bangsa' yang menyebut diri
Indonesia, sebagaimana terpapar ini, tentunya menimbulkan tanda tanya besar
bagi anak-anak bangsa yang sadar dengan realita tersebut. Pertama-tama, apakah
para elit di tingkat lokal dan nasional memahami dan sadar akan kenyataan hidup
yang dihadapi bangsa dan negaranya di tengah gelombang neo imperialisme yang
disebut globalisasi itu? Apakah para elit memiliki strategi untuk
mengantisipasi dan bahkan menghadapi dampak globalisasi yang jelas-jelas
merupakan proses pemelaratan rakyat? Apakah para elit sadar jika selama ini
mereka justru disibukkan oleh isu-isu yang dicipta kapitalisme global seperti
demokratisasi, HAM, gender, civil society hingga melupakan inti masalah, yaitu
membawa rakyat kepada cita-cita nasional yang diimpikan para Founding Fathers:
‘masyarakat yang adil dan makmur'?
Globalisasi
Menjadi Keniscayaan
Ditinjau dari
satu sisi, keputusan pemerintah Orde Baru menerima penjadualan globalisasi
dalam KTT APEC di Bogor tahun 1994 itu lebih dilatari oleh kebijakan
liberalisasi dalam ekonomi politik sebagaimana disyaratkan oleh IMF, de
facto, yang menyertakan di dalam dirinya konsep-konsep kebebasan dan
pembebasan dalam berbagai diskursus yang mengacu pada fenomena global tentang
bakal lahirnya tatanan baru yang disebut a global open society, yakni
tatanan baru masyarakat dunia yang dibangun di atas nilai-nilai liberalisme.
Berangkat dari
pemikiran di atas, diasumsikan bahwa di dalam dunia global akan terjadi
perubahan besar di bidang social dan ekonomi, di mana dalam konteks sosial
konsep-konsep kehidupan sosial seperti integrasi, kesatuan, persatuan,
nasionalisme dan solidaritas akan tenggelam dalam realita sosial dan sekedar
menjadi mitos, karena kehidupan sosial menjadi tak lebih dari sebuah arus perubahan
terus-menerus yang di dalamnya aktor-aktor individu maupun kolektif tidak lagi
bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial, akan tetapi
mengikuti strategi masing-masing yang berperan di dalam proses perubahan
(kapitalisme global), serta tidak dapat lagi sepenuhnya dikontrol oleh
kekuasaan Negara (Tourainne, 1992), sementara dalam konteks ekonomi yang
mengarah ke pasar bebas akan terjadi keterbukaan dan transparansi di mana
setiap individu memiliki hak untuk berspekulasi dan mencari keuntungan di dalam
ekonomi, dan jaringan ekonomi global dapat dimasuki oleh apa saja, siapa saja,
di mana saja dan kapan saja bahkan oleh berbagai lapisan masyarakat global yang
anonym dan invisible, yang dapat berbuat apa pun sesuai keinginan mereka (Baudrillard,
1983), dengan demikian, era yang disebut globalisasi adalah era liberalisasi di
mana konsep-konsep lama tentang Negara, bangsa, komunitas suku, batas-batas
Negara, nasionalisme, akan digantikan oleh tatanan baru global yang memberi
kebebasan kepada individu sebagai akibat berkembang pesatnya teknologi
informasi, di mana keadaan itu harus dianggap sebagai sebuah keniscayaan dalam
perubahan sosial.
Problem
Dilematik Indonesia di Era Globalisasi
Hasyim Wahid
dalam Telikungan Kapitalisme Global (1999) menganalisis bahwa kekuatan
Kapitalisme Global dalam menjalankan skenario Neo Imperialismenya di Indonesia
telah memanfaatkan kebijakan pemerintah yang disebut Paket Oktober 1988 (Pakto
88), di mana pemerintah memberikan kebebasan kepada BUMN dan Swasta Nasional
untuk membuat hutang ke luar negeri dengan jaminan comercial paper dari
pemerintah. Kebijakan Pakto 88 itu,diikuti pembentukan Panitia Kredit Luar
Negeri (PKLN) pada 1992 yang bertujuan membatasi jumlah hutang luar negeri BUMN
dan Swasta Nasional, di mana hutang yang ditanggung pemerintah hanya hutang
pada periode jatuh tempo lima tahun ke depan. Tahun 1997 - tepat dengan saat
jatuh tempo pembayaran utang luar negeri BUMN dan Swasta Nasional yang dijamin
pemerintah -- secara tiba-tiba mata uang rupiah diperdagangkan di bursa
keuangan dunia, dan diborong oleh para spekulan. Dalam tempo sepekan sejak
diperdagangkan, mata uang rupiah tiba-tiba jatuh kursnya dari nilai 3.236
rupiah per US dolar menjadi 7000, 9000, 10.000, bahkan mencapai 17.000 rupiah per
US dolar. Jatuhnya nilai kurs rupiah membuat bangkrut BUMN dan Swasta Nasional
yang memiliki hutang luar negeri. Itulah peristiwa krisis moneter yang memaksa
Presiden Soeharto menandatangani Letter Of Intens dengan Michael
Camdesus dari IMF yang berujung pada terbentuknya Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN) yang diawasi Standard Chartered Bank dan Citybank. Lalu lewat
BPPN, aset-aset BUMN dan Swasta Nasional yang tak mampu membayar hutang luar
negeri diambil-alih oleh BPPN kemudian dijual kepada para pemilik kapital dari
negara-negara industri maju.
Bertolak dari
polemik di muka terutama analisis yang dilakukan Hasyim Wahid, dapat
disimpulkan bahwa Negara-bangsa (nation-state) Indonesia terjerat ke
dalam problem dilematis dalam globalisasi, yang ternyata merupakan bagian dari
setting Neo Imperialisme yang dijalankan Kapitalisme Global. Sebab di satu
sisi, globalisasi tidak mungkin dilawan karena sebagai bagian dari sistem yang
dicipta Kapitalisme Global telah membangun sebuah tatanan global yang dioperasikan
oleh lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti WTO, perusahaan-perusahaan
Transnasional (TNC's dan MNC's), dan lembaga-lembaga keuangan dunia seperti IMF
, ADB, WB sebagai aktor akumulasi modal yang meminggirkan peran negara (Herzt,
2005), sedang di sisi yang lain negara harus menjalankan amanat undang-undang
untuk merealisasikan cita-cita bangsa mewujudkan masyarakat yang adil dan
makmur berdasar Pancasila dan UUD 1945.
Dihadapkan
pada problem dilematis globalisasi ini, tidak ada pilihan yang lebih tepat bagi
bangsa Indonesia kecuali membangkitkan kesadaran tentang pentingnya memperkuat
peran negara dalam menerapkan regulasi yang ketat terhadap pasar. Artinya,
pemerintah harus melakukan intervensi terhadap perekonomian agar tercipta
kondisi full employment, sesuatu yang secara alamiah tidak dimiliki oleh
pasar. Atau pemerintah harus menerapkan strategi ekonomi campuran
(negara-swasta) yang oleh David Osborne (2004) disebut Reinventing Gouvernment.
Namun dengan telah diamandemennya UUD 1945 - dari UUD yang bersemangat Civil
Law menjadi Common Law - usaha menegakkan wibawa Negara ibaratnya seperti
pepatah ‘menegakkan benang basah', yaitu sebagai usaha yang sia-sia karena
dinamika sosial-politik-ekonomi telah bergerak kea rah pasar bebas, di mana
keberadaan Negara pada gilirannya tidak lebih dari sekedar pasar tempat di mana
semua elemen yang berada di dalamnya melakukan transaksi-transaksi untuk
kepentingan penambahan aspek ekonomi pribadi.
Globalisasi
dengan fenomena kapitalisasi, tampaknya tidak akan dapat dihadapi dengan baik
oleh masyarakat Indonesia yang selama ini belum sadar akan kenyataan yang
terpampang di depan mereka. Ibarat air bah yang membanjir akibat bendungan
jebol, masyarakat harus memilih dua alternatif pilihan di tengah banjir global:
either you swim or you sink (berenang atau tenggelam). Pilihan itulah
yang dalam termonologi Darwinisme disebut dengan istilah: survival of the
fittest. Masalahnya kemudian: siapkah bangsa kita melakukan survival di
tengah air bah dahsyat globalisasi ini?
oleh: Ki Mas Badaruddin Manconegara
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah menitipkan komentar
semoga informasi ini bermanfaat
Wassalam