Rabu, 27 Maret 2013
0 komentar

Paradigma tentang Globalisasi


Globalisasi Sebagai Isu
Tulisan berikut ini hendak mengedepankan suatu isu menyangkut globalisasi yang mengundang polemik antara pendapat pihak-pihak yang pro dengan pihak-pihak yang kontra dengan globalisasi, dengan argumen masing-masing sebagai berikut:

George Soros dalam On Soros: Staying Ahead of the Curve (1995) menyebutkan bahwa seiring meredanya ketegangan perang dingin (cold war) antara Barat dengan Timur akibat runtuhnya komunisme, terjadi tatanan baru dunia yang disebut a global open society, yakni tatanan dunia yang dibangun di atas empat ciri utama: (1) effective competition, yaitu bentuk persaingan di mana situasi nilai dan peluang-peluang selalu berubah; (2) memaksimalkan kebebasan individual dengan membiarkan orang memasuki berbagai pilihan alternatif yang tersedia secara global; (3) hubungan sosial berdasar kontrak sosial di mana individu sebagai nucleus dari struktur masyarakat mengambang secara global tanpa perlu akar tempat berpijak yang mengikat; (4) nilai-nilai hanyalah masalah pilihan seperti orang memilih di tempat mana mau berinvestasi atau berspekulasi.
Alan Touraine dalam tulisan berjudul Two Interpretation of Social Change (1992) menggambarkan bahwa di dalam dunia global, akan terjadi perubahan besar di bidang sosial dan ekonomi, di mana dalam konteks sosial konsep-konsep kehidupan sosial seperti integrasi, kesatuan, persatuan, nasionalisme dan solidaritas akan tenggelam dalam realita sosial dan sekedar menjadi mitos, karena kehidupan sosial menjadi tak lebih dari sebuah arus perubahan terus-menerus yang di dalamnya aktor-aktor individu maupun kolektif tidak lagi bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial, tetapi mengikuti strategi masing-masing yang berperan di dalam proses perubahan, serta tidak dapat lagi sepenuhnya dikontrol oleh kekuasaan Negara.
Rich De Vos dalam buku berjudul Compassionate Capitalism (1995) mengemukakan gagasan bahwa setelah hancurnya teritorial-teritorial tradisional akibat kapitalisme awal, maka kekuatan produksi kapitalisme harus diarahkan menjadi passionate capitalism di mana dibutuhkan rumus-rumus totaliterianisme baru yang mampu mengontrol, memproduksi, dan mendistribusikannya ke dalam konsumerisme massa. Di tengah persaingan bebas, setiap orang harus menjaga keseimbangan antara kepentingan pribadi dengan panggilan hati nuraninya akan kebaikan dan perbuatan mulia. Gagasan Rich De Vos ini disebut compassionate capitalism, kapitalisme berwajah sosial yang akan menjadi wajah bagi masa depan.
Peter Evans di dalam Dependent Development (1979) mengungkapkan bahwa wajah baru imperialisme memang mempesona. Dalam struktur ekonomi ia mewujudkan diri dalam topeng "globalisasi". Semua negara dipaksa untuk membuka diri dalam sektor ekonomi. Globalisasi memperlihatkan wajah aslinya ketika IMF lewat paket-paket bantuan memorak-porandakan negara-negara Asia yang mengalami krisis moneter. Dengan intervensi bantuannya, IMF telah melegitimasi teori-teori ketergantungan (dependency theory) dalam hubungan antar ekonomi pada sistem kapitalisme global. Menurut Tuathail dan Dalby (1998), Neo Imperialisme diwujudkan dalam rekayasa dan skenario penguasaan secara tidak langsung wilayah suatu negara. Imperialisme modern dioperasionalisasikan; pertama, secara formal (formal geopolitics) melalui lembaga-lembaga strategis, kelompok pemikir dan para akademisi; kedua, secara praktis (practical geopolitic) misalnya melalui kebijakan luar negeri, birokrasi dan lembaga-lembaga politik; dan ketiga, secara umum (popular geopolitics) misalnya melalui media massa, film, novel dan kartun, dsb.
Globalisasi dan Neo Imperialisme
Dalam buku berjudul Globalization Unmasked: imperialism in 21st century (2001), James Petras dan Henry Veltmeyer secara kritis mengungkap fenomena globalisasi yang jelas-jelas lebih merugikan negara-negara berkembang dan sebaliknya menguntungkan secara besar-besaran negara-negara industri maju. Di situ dijelaskan bahwa negara-negara berkembang dalam proses globalisasi itu justru akan menjadi semakin miskin karena yang disebut globalisasi itu adalah sebuah strategi negara-negara industri maju dalam memecahkan kejenuhan pasar mereka dengan mencari tempat-tempat penjualan bagi barang-barang yang sudah mengalami kesulitan di pasar dalam negeri negara-negara industri maju. Dalam proses globalisasi itu akan terjadi sebuah imperialisasi secara tidak langsung atas negara-negara miskin oleh negara-negara industri maju.
Immanuel Wallerstein dalam buku A World Systems Reader: New Perspective on Gender, Urbanism, Cultures, Indigenous Peoples, and Ecology, (dalam Thomas D. Hull (ed.), 2000: 4-5) dalam teorinya menjelaskan asal-usul dan proses kapitalisme, revolusi industri, dan hubungan yang rumit antara negara-negara Dunia Pertama, Kedua dan Ketiga dan peranan masing-masing dalam pertumbuhan kapitalisme dan industrialisasi, sampai pada dominasi dan hegemoni Dunia Pertama atas dunia Kedua dan Ketiga. Dengan menggunakan sudut pandang teori Wallerstein, akan terjelaskan hubungan yang eksploitatif dan dominatif antara negara-negara pusat/ hegemon/ kapitalis/ imperialis (core/center) dan negara pinggiran yang dieksploitasi (periphery). Dengan demikian, yang dimaksud sistem imperialisme dunia, adalah sebuah sistem yang melembagakan dan melanggengkan struktur hegemoni dan hierarki negara-negara Dunia Pertama (core) dengan negara-negara Dunia Kedua dan Dunia Ketiga (periphery).
Negara Dunia Pertama yang mempunyai tingkat distribusi dan produksi industri yang sangat tinggi, adalah negara terkuat, karena ia memiliki kelas borjuis yang kuat dan kelas pekerja yang besar. Sebaliknya, negara pinggiran memiliki tingkat produksi yang rendah (meski memiliki bahan mentah yang cukup), merupakan negara lemah, kelas borjuisnya kecil dan memiliki banyak petani. Hubungan antara negara pusat dan pinggiran bersifat hierarkis dan merupakan struktur dominasi dan eksploitasi (Chase-Dunn, 1998: 203). Dan struktur hierarkis, dominatif dan eksploitatif itu merupakan komponen utama dari sistem dunia kapitalis saat ini. Dalam perspektif politik dominasi dan ketergantungan itulah, hubungan antar-negara sesungguhnya tidak bersifat equal, melainkan yang kuat akan mengeksploitasi dan mengakumulasi, sedang yang lemah sekedar men-suplai dan tergantung pada yang kuat. Itulah hakikat terdalam dari imperialisme yang tetap kuat sampai saat ini.
Wajah baru imperialisme - yang diistilahkan Bung Karno sebagai Neokolonialisme Imperialis (Nekolim) -- memang mempesona. Dalam struktur politik, ia dimanifestasikan dalam topeng pembungkus yang disebut "demokratisasi". Sedang dalam struktur ekonomi diwujudkan dalam topeng mengerikan "globalisasi". Semua negara, dipaksa dan didikte untuk menjadi demokratis, paling tidak secara formal-prosedural. Semua negara dipaksa untuk membuka diri dalam sektor ekonomi karena globalisasi diasumsikan tidak mungkin dilawan.
Globalisasi atau Neo Imperialisme sendiri ditandai oleh dua hal pokok. Pertama, ia menuntut partisipasi aktif negara dalam hubungan ekonomi internasional. Negara imperialis tidak bisa secara mandiri atau bersama-sama mengimplementasikan kebijakan-kebijakan neo-kolonial tanpa ada dukungan kapitalisme negara (state capitalism) di pinggiran. Kedua, yang pertama dan utama, kebijakan neo-kolonial didesain untuk mencegah potensi independen negara pinggiran dalam melakukan konsolidasi politik dan sekaligus untuk mempertahankan ketergantungan negara pinggiran secara penuh dalam sistem kapitalisme dunia (O'Connor, 1981). Karena itu menurut Tuathail dan Dalby (1998), neo imperialisme diwujudkan dalam rekayasa dan skenario penguasaan secara tidak langsung wilayah suatu negara, karena imperialisme modern itu dioperasionalisasikan; pertama, secara formal (formal geopolitics) melalui lembaga-lembaga strategis, kelompok pemikir dan para akademisi; kedua, secara praktis (practical geopolitic) misalnya melalui kebijakan luar negeri, birokrasi dan lembaga-lembaga politik; dan ketiga, secara umum (popular geopolitics) misalnya media massa, film, novel dan kartun, dsb.
Indonesia Diterjang Gelombang Globalisasi
Ketika menjadi tuan rumah KTT APEC di Bogor 1994, pemerintah Indonesia dengan tegas menerima jadwal AFTA 2003 dan APEC 2010. Artinya, pemerintah telah komitmen mendukung globalisasi tingkat ASEAN (ASEAN Free Trade Area) pada 2003 dan globalisasi tingkat ASEAN - China (ACFTA) pada 2010 dan globalisasi tingkat dunia pada 2015. Anehnya, sampai memasuki tahun 2011, setahun setelah ACFTA dijalankan, tidak sedikit pun ada penjelasan dari pemerintah tentang kebijakan dan strategi yang sudah dilakukan pemerintah dalam menghadapi komitmen tersebut. Masyarakat hanya tahu, bahwa tahun 1997 - tiga tahun setelah penerimaan penjadualan AFTA 2003 dan ACFTA 2010 serta APEC tahun 2015- Indonesia terpuruk ke situasi krisis moneter (krismon) berlarut-larut disusul penandatanganan Letter Of Intens antara Presiden Soeharto dengan Michael Camdesus dari IMF yang berujung pada terbentuknya Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang diawasi Standard Chartered Bank dan Citybank. Lalu lewat BPPN, aset-aset BUMN dan Swasta Nasional yang terlilit hutang diambil-alih oleh BPPN untuk dijual (dengan istilah privatisasi) kepada pemilik kapital dari negara-negara industri maju. Sejarah mencatat, melalui BPPN raksasa-raksasa kapitalis dunia seperti Caltex, Shell, Exxon Mobile, British Petroleum, Chevron, Amerada Hess, Standard Mobile Oil, Marathon, Gulf Union Oil mencaplok aset nasional di bidang pertambangan minyak dan gas, Freeport dan Newmont mencaplok semua aset nasional di bidang pertambangan emas, Cement Mexico mencaplok semua aset nasional di bidang produksi semen, Phillip Morris, British American Tobacco, Soros Corp mencaplok aset nasional di bidang rokok, cengkeh dan tembakau, ABN Amro Bank, Citybank, Standard Chartered, Chemical Bank, Chase-Manhattan Bank, Federal Reserve Bank mencaplok aset nasional di bidang perbankan, bahkan Golden Missisipi dan Nestle lewat produk Aqua, Ades, Aquades, Club, Cheers mendominasi produk air dalam kemasan nasional. Melalui BPPN raksasa-raksasa kapitalis dunia mencaplok semua asset nasional yang menjadikan hutan-hutan terbabat, ladang-ladang minyak terkuras, sumur-sumur gas tereksploitasi, tanah-tanah pertanian terubah menjadi real estate dan industrial park dan agrobisnis, tambang-tambang emas termonopoli, bahkan mata air - mata air terkuasai.
Di tengah arus perubahan di era global itu, terjadi perubahan dalam aspek sosial-kultur masyarakat Indonesia yang selama itu dikenal sebagai komunitas tradisional yang hidup guyub-rukun, sederhana, rajin, gotong-royong, dan religius. Masyarakat Indonesia, berangsur telah berubah menjadi masyarakat bergaya hidup mewah yang penuh ditempeli atribut-atribut konsumtif dan hedonis. Masyarakat Indonesia telah berubah menjadi komunitas buruh sekaligus konsumen utama dari arus barang-barang produksi dari negara-negara kapitalis, yang lazimnya dibeli secara kredit.
Kita tidak tahu pasti, apa yang sesungguhnya sedang terjadi dengan Masyarakat Indonesia yang selalu memimpikan menjadi ‘masyarakat yang adil dan makmur'. Kita hanya menyaksikan, betapa di tengah aset-aset milik negara yang beralih ke tangan para pemilik kapital asing dengan dalih privatisasi yang hakikatnya adalah dijualnya aset negara kepada pribadi-pribadi pemilik kapital, bagian terbesar masyarakat telah terlilit utang yang sengaja ditebar counter-counter hp, developer perumahan, showroom motor dan mobil, toko elektronik, toko computer, toko khusus kredit, bank perkreditan rakyat, dsb. Anak-anak bangsa yang idealnya bermartabat, mengalir ke luar negeri sebagai buruh kasar. Jumlah lulusan sekolah yang menjadi pengamen dan pengangguran makin membesar. Jumlah gelandangan dan pengemis makin meningkat di jalan-jalan. Pendidikan telah menjelma menjadi komoditas yang tak terjangkau rakyat kecil. Hukum dijadikan komoditas perdagangan. Bahkan para elit sibuk berebut kekuasaan dan berlomba ‘menjarah' sisa-sisa kekayaan negara.
Fakta yang terkait dengan kenyataan hidup warga ‘negara-bangsa' yang menyebut diri Indonesia, sebagaimana terpapar ini, tentunya menimbulkan tanda tanya besar bagi anak-anak bangsa yang sadar dengan realita tersebut. Pertama-tama, apakah para elit di tingkat lokal dan nasional memahami dan sadar akan kenyataan hidup yang dihadapi bangsa dan negaranya di tengah gelombang neo imperialisme yang disebut globalisasi itu? Apakah para elit memiliki strategi untuk mengantisipasi dan bahkan menghadapi dampak globalisasi yang jelas-jelas merupakan proses pemelaratan rakyat? Apakah para elit sadar jika selama ini mereka justru disibukkan oleh isu-isu yang dicipta kapitalisme global seperti demokratisasi, HAM, gender, civil society hingga melupakan inti masalah, yaitu membawa rakyat kepada cita-cita nasional yang diimpikan para Founding Fathers: ‘masyarakat yang adil dan makmur'?
Globalisasi Menjadi Keniscayaan
Ditinjau dari satu sisi, keputusan pemerintah Orde Baru menerima penjadualan globalisasi dalam KTT APEC di Bogor tahun 1994 itu lebih dilatari oleh kebijakan liberalisasi dalam ekonomi politik sebagaimana disyaratkan oleh IMF, de facto, yang menyertakan di dalam dirinya konsep-konsep kebebasan dan pembebasan dalam berbagai diskursus yang mengacu pada fenomena global tentang bakal lahirnya tatanan baru yang disebut a global open society, yakni tatanan baru masyarakat dunia yang dibangun di atas nilai-nilai liberalisme.
Berangkat dari pemikiran di atas, diasumsikan bahwa di dalam dunia global akan terjadi perubahan besar di bidang social dan ekonomi, di mana dalam konteks sosial konsep-konsep kehidupan sosial seperti integrasi, kesatuan, persatuan, nasionalisme dan solidaritas akan tenggelam dalam realita sosial dan sekedar menjadi mitos, karena kehidupan sosial menjadi tak lebih dari sebuah arus perubahan terus-menerus yang di dalamnya aktor-aktor individu maupun kolektif tidak lagi bertindak sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma sosial, akan tetapi mengikuti strategi masing-masing yang berperan di dalam proses perubahan (kapitalisme global), serta tidak dapat lagi sepenuhnya dikontrol oleh kekuasaan Negara (Tourainne, 1992), sementara dalam konteks ekonomi yang mengarah ke pasar bebas akan terjadi keterbukaan dan transparansi di mana setiap individu memiliki hak untuk berspekulasi dan mencari keuntungan di dalam ekonomi, dan jaringan ekonomi global dapat dimasuki oleh apa saja, siapa saja, di mana saja dan kapan saja bahkan oleh berbagai lapisan masyarakat global yang anonym dan invisible, yang dapat berbuat apa pun sesuai keinginan mereka (Baudrillard, 1983), dengan demikian, era yang disebut globalisasi adalah era liberalisasi di mana konsep-konsep lama tentang Negara, bangsa, komunitas suku, batas-batas Negara, nasionalisme, akan digantikan oleh tatanan baru global yang memberi kebebasan kepada individu sebagai akibat berkembang pesatnya teknologi informasi, di mana keadaan itu harus dianggap sebagai sebuah keniscayaan dalam perubahan sosial.
Problem Dilematik Indonesia di Era Globalisasi
Hasyim Wahid dalam Telikungan Kapitalisme Global (1999) menganalisis bahwa kekuatan Kapitalisme Global dalam menjalankan skenario Neo Imperialismenya di Indonesia telah memanfaatkan kebijakan pemerintah yang disebut Paket Oktober 1988 (Pakto 88), di mana pemerintah memberikan kebebasan kepada BUMN dan Swasta Nasional untuk membuat hutang ke luar negeri dengan jaminan comercial paper dari pemerintah. Kebijakan Pakto 88 itu,diikuti pembentukan Panitia Kredit Luar Negeri (PKLN) pada 1992 yang bertujuan membatasi jumlah hutang luar negeri BUMN dan Swasta Nasional, di mana hutang yang ditanggung pemerintah hanya hutang pada periode jatuh tempo lima tahun ke depan. Tahun 1997 - tepat dengan saat jatuh tempo pembayaran utang luar negeri BUMN dan Swasta Nasional yang dijamin pemerintah -- secara tiba-tiba mata uang rupiah diperdagangkan di bursa keuangan dunia, dan diborong oleh para spekulan. Dalam tempo sepekan sejak diperdagangkan, mata uang rupiah tiba-tiba jatuh kursnya dari nilai 3.236 rupiah per US dolar menjadi 7000, 9000, 10.000, bahkan mencapai 17.000 rupiah per US dolar. Jatuhnya nilai kurs rupiah membuat bangkrut BUMN dan Swasta Nasional yang memiliki hutang luar negeri. Itulah peristiwa krisis moneter yang memaksa Presiden Soeharto menandatangani Letter Of Intens dengan Michael Camdesus dari IMF yang berujung pada terbentuknya Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) yang diawasi Standard Chartered Bank dan Citybank. Lalu lewat BPPN, aset-aset BUMN dan Swasta Nasional yang tak mampu membayar hutang luar negeri diambil-alih oleh BPPN kemudian dijual kepada para pemilik kapital dari negara-negara industri maju.
Bertolak dari polemik di muka terutama analisis yang dilakukan Hasyim Wahid, dapat disimpulkan bahwa Negara-bangsa (nation-state) Indonesia terjerat ke dalam problem dilematis dalam globalisasi, yang ternyata merupakan bagian dari setting Neo Imperialisme yang dijalankan Kapitalisme Global. Sebab di satu sisi, globalisasi tidak mungkin dilawan karena sebagai bagian dari sistem yang dicipta Kapitalisme Global telah membangun sebuah tatanan global yang dioperasikan oleh lembaga-lembaga ekonomi dunia seperti WTO, perusahaan-perusahaan Transnasional (TNC's dan MNC's), dan lembaga-lembaga keuangan dunia seperti IMF , ADB, WB sebagai aktor akumulasi modal yang meminggirkan peran negara (Herzt, 2005), sedang di sisi yang lain negara harus menjalankan amanat undang-undang untuk merealisasikan cita-cita bangsa mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur berdasar Pancasila dan UUD 1945.
Dihadapkan pada problem dilematis globalisasi ini, tidak ada pilihan yang lebih tepat bagi bangsa Indonesia kecuali membangkitkan kesadaran tentang pentingnya memperkuat peran negara dalam menerapkan regulasi yang ketat terhadap pasar. Artinya, pemerintah harus melakukan intervensi terhadap perekonomian agar tercipta kondisi full employment, sesuatu yang secara alamiah tidak dimiliki oleh pasar. Atau pemerintah harus menerapkan strategi ekonomi campuran (negara-swasta) yang oleh David Osborne (2004) disebut Reinventing Gouvernment. Namun dengan telah diamandemennya UUD 1945 - dari UUD yang bersemangat Civil Law menjadi Common Law - usaha menegakkan wibawa Negara ibaratnya seperti pepatah ‘menegakkan benang basah', yaitu sebagai usaha yang sia-sia karena dinamika sosial-politik-ekonomi telah bergerak kea rah pasar bebas, di mana keberadaan Negara pada gilirannya tidak lebih dari sekedar pasar tempat di mana semua elemen yang berada di dalamnya melakukan transaksi-transaksi untuk kepentingan penambahan aspek ekonomi pribadi.
Globalisasi dengan fenomena kapitalisasi, tampaknya tidak akan dapat dihadapi dengan baik oleh masyarakat Indonesia yang selama ini belum sadar akan kenyataan yang terpampang di depan mereka. Ibarat air bah yang membanjir akibat bendungan jebol, masyarakat harus memilih dua alternatif pilihan di tengah banjir global: either you swim or you sink (berenang atau tenggelam). Pilihan itulah yang dalam termonologi Darwinisme disebut dengan istilah: survival of the fittest. Masalahnya kemudian: siapkah bangsa kita melakukan survival di tengah air bah dahsyat globalisasi ini?
oleh: Ki Mas Badaruddin Manconegara

0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah menitipkan komentar
semoga informasi ini bermanfaat
Wassalam

 
Toggle Footer
Top